Menyambut keheningan di waktu luang
“Tatapanmu mengerikan kalau lagi diam,”
adalah komentar dari beberapa orang yang sangat observatif di sekitar saya. Mengabaikan poin “mengerikan”-nya, saya biasanya timpali mereka dengan menjelaskan (1) bahwa jika terlihat seperti itu, biasanya saya sedang melamun; (2) tolong jangan larang saya untuk melamun, karena; (3) melamun itu (bisa jadi) baik.
Photo by Filippo Andolfatto on Unsplash
Energi Berlebih
Perlu diakui bahwa sepertinya saya sering melamun yang mendekati maladaptive daydreaming — bergumul dengan pikiran sendiri sampai berjam-jam — di masa SMP-SMA. Ini mungkin gara-gara pengaruh seringnya membaca manga dan menonton anime yang mengandung unsur monolog karakter yang panjang tiap episodenya. Pikiran saya sering mereka ulang entah kisah yang berkaitan dengan tema manga/anime itu sendiri atau mencontoh aksi monolog yang seakan tanpa henti tersebut dalam konteks kehidupan pribadi.
Bertransisi ke masa kuliah (sejak kelas 3 SMA), kebiasaan itu menghilang bagaikan kabut. Tentu saja ini terjadi karena di saat itu pikiran saya harus “mendarat” ke dunia nyata, dengan banyak informasi yang harus diolah, keputusan besar yang harus dibuat, dan ekspektasi hidup yang harus/ingin dipenuhi. Sederhananya, lamunan saya adalah buah hasil dari energi pikiran berlebih yang tidak habis oleh kegiatan sehari-hari. Kebetulan saja di waktu itu bahan lamunannya berasal dari kisah-kisah dari Jepang.
Melamun = Malas?
Stigma negatif sering dikaitkan dengan melamun. Orang yang suka melamun dianggap malas, tidak fokus, atau bahkan tidak mampu berpikir logis. Namun, anggapan ini tidak selalu benar. Melamun, jika dilakukan dengan tepat dan terarah, dapat menjadi sumber ide cemerlang dan bermanfaat.
https://x.com/FiersaBesari/status/1048836259181821952
Lamunan saya di masa transisi dulu mungkin tidak menghasilkan karya nyata. Tapi, gairah besar untuk menjadi ilmuwan “terpadatkan” dalam “kemalasan” itu. (Terinspirasi Steins;Gate, barangkali?). Benih-benih mimpi besar ini terus tumbuh dan mengantarkan saya pada pencapaian-pencapaian setelahnya.
Bagi saya, lamunan adalah ruang kosong di mana pikiran saya bebas berkelana, menjelajah ide-ide baru, dan menghubungkan berbagai informasi yang tidak terduga. Di ruang kosong ini, saya menemukan inspirasi dan solusi kreatif untuk berbagai permasalahan.
Merekayasa Momen Melamun
Melamun? Bengong? Atau merenung?
Untuk bisa mengarahkan energi pikiran yang berlebih ini menjadi sesuatu yang positif dan produktif, maka kita harus memulai dari mendefiniskan dan membedakannya dari aktivitas-aktivitas yang serupa.
Merekayasa momen melamun bukanlah tentang menciptakan kondisi yang sempurna, melainkan tentang memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Tidak seperti anggapan umum bahwa melamun membutuhkan keheningan total, sebenarnya suasana yang terlalu sunyi justru bisa kontraproduktif. Saya sendiri sering menemukan momen melamun paling produktif di tengah hiruk pikuk angkutan transportasi umum (ketika bosan melakukan ritual biasanya) atau dengung percakapan di kafe. Yang terpenting adalah meminimalkan distraksi langsung yang memecah konsentrasi.
Namun, melamun yang produktif bukanlah sekadar membiarkan pikiran mengembara tanpa arah. Sebaliknya, ini adalah proses yang dimulai dengan sebuah pemantik — entah itu sebuah pertanyaan mengganjal, masalah yang perlu dipecahkan, atau bahkan objek sederhana yang menarik perhatian.
Misalnya, ketika sedang dalam perjalanan pulang dari kantor, saya sering memulai dengan suatu pertanyaan, seperti, “Teknologi seperti apa yang kira-kira bisa meningkatkan kualitas hidup orang di depan saya?” Dari situ, pikiran saya mulai menjelajah, menghubungkan berbagai konsep dan pengalaman. Saya bisa membawanya ke sisi teknis teknologinya, detail mengenai human computer interaction-nya, kritis etikanya, pengaruh psikologinya, atau penjelasan antropologisnya.
Meski demikian, agar lamunan tidak sekadar menjadi buih yang menguap, penting untuk mencatat poin-poin kunci dari proses dan hasil lamunan. Di sinilah kita perlu berhati-hati agar jangan sampai kegiatan mencatat ini malah mengganggu alur pikiran. Saya biasanya hanya menuliskan kata kunci atau sketsa cepat di notes ponsel atau di sudut kertas struk belanja Ind*maret yang ada di saku. Leonardo da Vinci terkenal dengan buku catatannya yang penuh dengan sketsa dan ide-ide liar hasil dari sesi-sesi melamunnya.
Wassap, me? Catatan lamunan di perjalanan sehari-hari.
Yang tak kalah penting, jangan memaksakan diri untuk masuk ke mode melamun. Terkadang, pikiran kita memang butuh istirahat total. Pada saat-saat seperti itu, membiarkan diri sejenak bengong tanpa tujuan juga bisa menjadi penyegaran yang dibutuhkan. Ya, tentu saja, penyegaran yang lebih baik dari bengong — bagi para muslim — adalah berdzikir :).
Jadi ketika ada lagi komentar “tatapan mengerikan” muncul di tengah/pasca lamunan, saya mungkin akan coba jawab, “…sedang menatap masa depan yang semoga tidak mengerikan layaknya dunia distopian 1984 Orwellian— di mana melamun saja bisa dianggap sebagai suatu kejahatan.”
Jadi, melamunlah — yang positif nan produktif — selagi dimampukan.