Home Blog
Post
Cancel

Aku, Dunia Self-Help, dan 4 Kesalahan

Memoriku memang cukup aneh. Terkadang aku bisa mengingat dengan sangat detil kejadian yang menurutku tidak terlalu bermakna. Ingatan itu muncul saja secara tiba-tiba. Termasuk buku bergenre self-help yang pertama kali aku baca: Terapi Berpikir Positif.

Ya.. Pertama-tama, aku yakin banyak orang yang sering mengalami kejadian memori remeh yang datang tiba-tiba. Jadi mungkin ini tidak spesial sama sekali.

Kedua, inilah inti pembicaraan kita di tulisan ini, judul buku yang baru aku sebutkan tadi mengantarkanku pada dunia pertolongan-pada-diri-sendiri (panjangnyaaa!). Dunia ini memberikan banyak pengaruh dan perubahan baik, sekaligus menyematkan kebiasaan beracun yang sering kali tidak membantu.

Memasuki Dunia Self-Help

Buku self-help pertamaku adalah Terapi Berpikir Positif yang ditulis Dr. Ibrahim Elfiky. Buku ini dibeli bapakku, tapi entah apakah beliau pernah beres membacanya karena suatu hari aku membawanya ke kamarku, dalam kondisi buku yang masih segar baunya. Aku tertarik dengan judulnya karena merasa di zaman itu, SMP kelas 1 atau 2 (lupa!), aku mulai menyadari akan eksistensi pikiran-pikiran negatif di kepalaku ataupun di ucapan orang lain. Dengan isinya yang kurasa sangat membuka pikiran, sedikit demi sedikit aku mencoba mempraktekkan nasihat-nasihat dari buku tersebut. Ya! Di masa-masa SMP itu aku tenggelam dalam rasa penasaran bagaimana caranya mengontrol pikiran sendiri! Aku mencoba berbagai hal mulai dari latihan bernafas, menulis jurnal, hingga meditasi. Tetapi karena akupun tidak memiliki masalah yang cukup serius, tidak ada yang benar-benar aku jadikan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Satu-satunya kemampuan baru yang aku dapatkan secara riil saat itu adalah kemampuan meredam emosi, suppressing emotion, ketika aku mau.

Mungkin itulah bibit dari kemampuanku (atau ketidakmampuan?) merespon pada segala jenis dinamika kehidupan dengan sangat datar. Sekarang aku bisa bilang skill ini adalah pedang bermata dua, yang alhamdulillah, dengan percaya diri aku bisa mengatakan bahwa aku sudah cukup menguasainya.

Anyway, waktu berlalu. Aku masuk ke sekolah menengah atas yang dikenal dengan unlimited assignment works-nya. Aku baik-baik saja dengan itu. Tapi, tapi! Ada saatnya ketika aku merasa tugas-tugasku sangat tidak berarti, selain hanya untuk nilai, aku merasa sangat malas mengerjakannya! Boom! Procrastination! Munculah kecintaanku pada hormon adrenalin yang keluar deras ketika mengerjakan sesuatu mendekati dead line.

Dengan kelancaran wifi Indi Home di sekolah dan wifi pribadi di rumah, aku melakukan banyak seluncur untuk mendiagnosis diri akan penyakit menunda-nunda. Aku tidak begitu ingat apa saja referensi yang aku gunakan untuk melawan kecenderungan ini. Pada akhirnya aku mendapat kesimpulan bahwa procrastination ini sebenarnya tidak terlalu buruk, tapi bisa jadi penyakit akut yang suka salah tempat kalau tidak dikendalikan. Inilah bibit-bibit kesenanganku pada perencanaan diri, karena perencanaan dapat membuat menunda-nunda menjadi suatu pilihan, bukan kebiasaan yang tak disadari.

Kemudian, suatu hari, masih awal-awal SMA, aku bersama keluarga mengunjungi Gramedia Cirebon (di Majalengka enggak ada Gramedia (“:). Mungkin karena hardcover-nya yang berkilau dan elegan, aku tidak banyak berpikir panjang memasukkan buku Dale Carnegie ke dalam tas belanja. Aku hanya merasa bahwa, aku sangat membutuhkan buku ini! Dapat ditebak bukunya apa? Untuk seorang yang canggung seperti Ilma, tentu judul How to Win Friends and Influence People in Digital Age terdengar sangat menggiurkan. Sayangnya setelah dibeli buku itu tidak langsung dibaca (kebiasaan yang buruk di masa depan!). Bahkan sampai saat ini, lima tahun berlalu, aku belum pernah selesai membacanya. Satu hal yang terus aku ingat dari buku itu adalah pentingnya untuk selalu tersenyum. Dan aku tidak pernah mempraktikannya secara serius.

Masih di waktu yang sama, aku merasa butuh suplemen belajar lebih. Tapi aku sangat enggan menjadi budak bimbel. Rumahku jauh dari sekolah, langsung pulang setelah kelas saja sudah melelahkan, apalagi harus ikutan bimbel dan bayar mahal? I still value my time and my parents’ money more. Jadilah aku berlangganan Zenius yang cost nya jauh lebih hemat, dan output-nya bisa aku katakan lebih daripada bimbel. Well, tergantung usahaku. Tapi itulah yang terjadi.

Cerita bimbel vs Zenius nya tidak penting, tapi dari blog Zenius-lah (thanks, Zenius!) aku mendapat rekomendasi buku legendarisnya Stephen Covey, 7 Habits of Highly Effective People. Aku pun membeli buku terjemahannya lewat toko daring dan membaca hingga pertengahan buku. Satu konsep yang paling berpengaruh bagiku adalah proaktif: bagaimana aku bisa mengatur responku pada dunia luar, bahwa aku punya kemerdekaan penuh atas pilihanku sendiri. Pretty powerful. Kebiasaan inilah yang coba aku terapkan pada dunia akademikku, ketika dihadapkan pada bayangan melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Aku memilih untuk belajar lebih dini, dari akhir kelas 11, untuk mempersiapkan tes ke perguruan tinggi (PT) yang saat itu disebut SBMPTN. Aku memilih untuk menyesuaikan usahaku sesuai pilihan jurusan dan PT-ku, bukan secara reaktif memilih jurusan dan PT karena nilai akhir sekolah dan persaingan antar siswa peserta SNMPTN (jalur undangan) di sekolahku. Alhasil, karena aku benar-benar berfokus pada yang lebih sulit (SBMPTN), hal yang lebih mudah pun (ujian sekolah dan ujian nasional) sama sekali tidak terasa, minim struggle. Alhamdulillah, malah diberikan bonusnya, aku lulus lewat SNMPTN, tidak perlu mengikuti tes yang telah aku nanti-nantikan setahun lebih.

Setelah itu, di masa-masa kekosongan akademik, menunggu kuliah semester pertama, aku mulai mengenal Cal Newport dengan konsep Deep Work-nya dan berbagai artikel dari College Info Geek beserta channel Youtube pemiliknya, Thomas Frank, yang semakin menjerumuskan aku pada dunia self-help. Time-management, focus-management, stress-management, minimalism, essentialism, habit-making, et cetera.

Self-help ini bagaikan obat. Jika dikonsumsi cukup dan diberikan waktu untuk bekerja secara efektif, maka akan sangat bermanfaat–menyembuhkan penyakit kita. Tetapi ketika dosis aman terlampaui, ia malah akan meracuni, tidak efektif sama sekali.

4 Kesalahan

Ketika sudah tenggelam dalam dunia self-help ini, aku yakin, kita akan memiliki tendensi untuk menjadi seseorang yang terus memperbaiki diri. Kalaupun kegiatan kita sudah efektif, maka buatlah efisien! Kalau kita sudah cukup produktif, maka buatlah lebih produktif! Inilah yang terjadi padaku dari awal kuliah hingga akhir tingkat tiga. Inilah empat kesalahanku selama tiga tahun terakhir.

1. Aku selalu merasa kurang lalu insecure karenanya

Karena aku, seperti manusia biasa lainnya, memang banyak kurangnya. Masalahnya bukan pada mengakui kekurangan itu ada atau tidak, tapi pada responku yang terlalu berusaha keras dan terobsesi untuk menghilangkan atau mengganti kekurangan itu menjadi kelebihan.

Ingin memperbaiki diri secara konstan tidaklah salah. Ia justru esensial untuk hidup yang baik, terlebih untuk seorang muslim. Ia direfleksikan oleh konsep muhasabah dan taubat. Tapi yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita bisa mengatur keinginan itu agar tidak menyakiti diri kita sendiri.

Bagiku, mudah sekali untuk mengenali kesalahan diri dan orang lain. Selain diriku sendiri, aku juga ingin lingkunganku terus bergerak menjadi lebih baik. Jika dalam jangka waktu yang lama usahaku tidak kunjung terlihat hasilnya, aku mulai frustasi. Aku merasa gagal dan tak berguna. Aku tidak cukup bersabar.

Di sisi lain, sulit bagiku untuk mengapresiasi keberhasilan. Aku selalu melihat pada tujuan besar. Selama tujuan itu belum tercapai, sulit bagiku untuk merayakan keberhasilan kecil. Ini semakin membuatku buta akan seberapa berpengaruhnya usahaku tadi. Aku tidak cukup bersyukur.

Melihat sesuatu untuk diperbaiki -> berusaha -> gagal bersabar dan bersyukur -> merasa tak berguna -> kesalahan yang perlu segera diperbaiki –> kembali ke awal. Lingkaran yang menjemukan.

2. Aku terlalu banyak mengambil nasihat

Ada beberapa episode dalam hidupku ketika aku sangat mengharapkan banyak nasihat dari siapapun yang aku anggap cukup mengenalku. Dikompori oleh poin 1, aku membutuhkan pandangan objektif orang lain dalam memandang kehidupanku. Tapi kemudian aku menyadari bahwa tidak semua orang dapat memberikan nasihat yang baik. Terlebih lagi tidak semua yang memberi nasihat mengenalku dengan baik.

Selain itu, tidak semua nasihat baik untuk aku terima sekarang. Ini berhubungan dengan poin selanjutnya.

3. Aku mencoba memperbaiki terlalu banyak hal dalam satu waktu

Banyak agenda self-help yang aku coba lakukan sekaligus. Tetapi tetap mencari nasihat, lagi dan lagi. Overwhelmed.

Self-help pada praktiknya adalah tentang habit, menerapkan kebiasaan. Secara mandiri, kebiasaan hanya bisa dikembangkan dengan efektif dengan satu persatu. Seperti kata wallpaper laptopku sejak dahulu yang baru aku ambil pesannya secara serius:

One thing at a time.

Satu hal dalam satu waktu.

4. Aku belum mengenali diriku sendiri

Sudah banyak usahaku untuk mengenali diri sendiri: MBTI, DISC, Enneagram, Big Five. Tapi hanya sampai tahap apa, tipe, kategorisasi, sebutan. Oke, aku INTJ, 5w4, Dominant, so what? Aku belum pernah mempelajari secara dalam bagaimana aku bekerja dan mengapa aku seperti ini.

Aku tidak bisa menentukan fokus apa yang harus aku utamakan, karena aku tidak bisa mengindentifikasi kebutuhan pribadi, di mana terjadi error, apa yang aku lewatkan dari diriku sendiri?

Resolusi: Laser Focus

Sejak awal semester 6 ini, aku mulai menata diri. Setelah menyadari masalah-masalahku, aku mencoba untuk menyelesaikannya satu persatu, dimulai dari urutan terbawah.

Aku menemukan penjelasan paling memuaskan tentang diriku sendiri dari teori four functions dan two attitudes Carl Jung. Berhubungan dengan MBTI, dari INTJ aku mendapat keterangan bahwa empat fungsiku adalah: Ni, Te, Fi, Se. Aku tidak mau menjelaskannya panjang lebar di sini, karena di luar sana sudah banyak tulisan yang menjabarkan maknanya dengan sangat baik. Dari situ aku merasa kehidupanku–cara aku bekerja sehari-hari–ditelanjangi. Aku bisa mengetahui dengan sangat baik mengapa aku seperti ini dengan penjelasan empat fungsi tadi. Selain itu, aku juga bisa memandang kehidupan orang lain lebih baik pula. Tidak mudah membuat asumsi atas perilaku orang lain, karena aku bisa menebak bagaimana hati dan pikiran mereka beraksi.

Kemudian, aku mendaftar semua hal yang berada pada mejaku, komitmenku di dunia luar: kewajiban, aktivitas, janji, dan segalanya yang harus aku selesaikan saat itu. Satu persatu aku urusi, one thing at a time, sembari menolak pekerjaan baru yang datang, yang sama sekali tidak ada relevansinya dengan apa yang sedang aku kerjakan. Itu penolakan jenis pertama.

Penolakan jenis selanjutnya adalah menolak dari segala yang tidak ada hubungannya dengan tujuan/cita-cita besarku. Ini sangat sulit, karena banyak sekali yang terlihat baik dan bermanfaat untukku. Tapi aku sudah mempelajari dengan pengalaman bahwa aku tidak lagi bisa hidup multitasking seperti dahulu.

Setelah beres dengan dunia luar, aku kembali melihat ke dalam. Aku kembali mengevaluasi diri, menata kembali perkakas-perkakas yang sering aku gunakan untuk menjalani kehidupan. Di sinilah perjalanan menulisku dimulai. Aku memverbalkan segala isi hati dan pikiran ke dalam bentuk tulisan. Membagikan sebagian kecilnya dengan segelintir orang yang aku percayai–atau lebih tepatnya–terbukti sanggup untuk mendengarnya (haha). Tulisan ini adalah salah satu latihannya.

Dari kegiatan menulis ini pula, aku bisa mengenal dengan lebih baik hal-hal yang membuat aku bahagia, yang membuat aku merasa cukup. Aku mendaftar aktivitas-aktivitas yang membawakan rasa senang yang jujur padaku. Aku mendaftar hal-hal yang harus aku perhatikan lebih dari pada yang lain. Aku mulai merancang kembali fokus hidupku, rancangan kontribusi unggulku, my laser focus masterplan, sebagaimana aku fokus belajar agar diterima perguruan tinggi yang aku inginkan dahulu. Aku secara riil mulai mengenal diriku sendiri.

Dalam perjalanan menata diri tersebut, aku menyadari, bahwa ternyata sedikit sekali nasihat yang diberikan media self-help yang benar-benar aku ambil. Aku tidak begitu butuh banyak nasihat. Aku hanya butuh beberapa yang tepat.

Aku tidak pernah menyesali perjalanan apapun yang telah aku lalui, termasuk empat kesalahan tadi. Apa kuncinya? Kuncinya seperti dua hal yang aku sebutkan di poin kesalahan pertamaku: sabar dan syukur.


Catatan akhir: Aku bercerita lebih banyak jika menggunakan bahasa Indonesia. Aku merasa lebih puas. Ini adalah tweak yang bagus. Aku tak lagi banyak berhenti bercerita karena mengecek ketepatan grammar bahasa Inggris yang kompleks itu. But rememmber! Harus segera cari platform latihan english writing!

This post is licensed under CC BY 4.0 by the author.