Key art: envying
Dengan nada mengeneralisasi, bisa dikatakan bahwa tahun 2017 bagiku adalah tahun di mana banyak orang harus membuktikan kata-kata sendiri (lulus sekolah menengah dengan nilai terbaik dan masuk perguruan tinggi), tahun pertama kali hidup terpisah dari orang tua (kuliah di Bandung), tahun pertama memilih circle pertemanan secara deliberate. Usia 17-18 tahun yang penuh kebimbangan, keputusan, dan memerlukan determinasi tinggi.
Tidak semua keinginan diraih dan tidak semua perjalanan berlalu mulus. Aku tidak memiliki nilai ujian terbaik, bukan lulusan terbaik di SMA, tidak jadi mengambil ujian SBMPTN ke PTN-fakultas yang paling aku inginkan saat itu, sedikit terseok-seok mengurusi diri sendiri tanpa bantuan langsung orang tua, dan masih tidak bisa menjadi teman terbaik untuk siapa-siapa–sepengetahuanku.
Saat itu, aku cemburu dengan mereka yang berada di tempat yang sebelumnya aku inginkan; cemburu dengan kecermelangan dan kegigihan mereka yang lulus dengan predikat terbaik; cemburu dengan mereka yang sudah mandiri mengurusi diri sendiri sejak kecil; cemburu dengan mereka yang memiliki teman pertemanan dekat yang terus dekat selama bertahun-tahun, atau mereka yang mudah bergaul.
Atas izin Allah, cemburu-cemburu itu berguna karena hanya mendiami diri dengan sementara. Cemburu itu tidak berhenti pada rasa terbakar saja; ia mengantarkanku pada kontemplasi yang lebih dalam, seperti,
“Mengapa aku cemburu ke orang itu? Mengapa reaksiku tidak biasa? Apa yang sebenarnya terjadi? Haruskah aku tunjukkan atau ceritakan? Bagaimana bisa menjadikan kondisi ini mengantarkan aku menuju aksi-aksi yang lebih progresif?”
Produk dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah serial pengakuan dan pencarian jalan keluar. Aku belajar mengakui masa lalu dan menyukurinya. Begitu pula dengan masa depan, sebisa mungkin bersabar meniti langkah-langkah memiliki kualitas-kualitas orang yang aku cemburui. Ya, memiliki kualitas dan karakter mereka, bukan memiliki kondisi yang sama dengan mereka. Di kesempatan inilah pula aku mulai mempelajari karakteristik dan membedakan antara pribadi seseorang dan perbuatannya, kondisi dan usaha, proses dan hasil, dan yang paling penting, mana keinginan kita dan mana keputusan Allah Swt. Semua komponen tersebut memiliki peran dalam membentuk takdir kita. Pertanyaan selanjutnya, mana yang sepatutnya kita lebih perhatikan di situasi tertentu?
Menuju akhir tahun, perlu diakui bahwa apa yang terjadi padaku tidaklah jelek. Salah satu kampus sains & teknologi terbaik di negeri ini sudi menerimaku sebagai mahasiswa barunya–rencana terbaik Allah Swt serta buah hasil doa, ikhtiar, dan kepatuhan pada nasihat orang tua. Nilai semester pertamaku cukup memuaskan di perkuliahan. Namun yang paling penting, saat itu aku menemukan kenyamanan di lingkungan berkembang yang kondusif: masjid kampus–yang mana akan segera terungkap sebagai salah satu keputusan terbaik yang pernah aku buat.
questioning the common, the norms, and trends: almost too critical
Dari awal tahun 2017 ini, aku dan orang-orang di sekitar tahu betul bahwa akan terjadi perubahan mayor dalam kehidupan kami. Semestinya lulus SMA, semestinya kuliah, semestinya memperjuangkan pilihan perguruan tinggi dan jurusan yang terbaik dan sesuai minat kita, semestinya terus belajar hingga hari tes, semestinya berhasil lulus seleksi, semestinya menargetkan IP 4, semestinya aktif berorganisasi, dan hal-hal lain yang jika dipertanyakan maka jawabannya adalah “semua orang juga menargetkan begitu.”
“Memangnya harus?” adalah inkuiri yang terus menerus muncul di saat itu. Mungkin karena sudah masanya mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Mungkin karena sedang dihadapkan pada pilihan-pilihan “menyeramkan” tentang di mana tempat menuntut ilmu-mu selanjutnya. Di titik tertentu, aku harus secara sadar memilih untuk masa bodoh agar tidak masuk ke dalam jebakan terus-terusan menanyakan “mengapa?”. Ternyata, bertanya itu mudah. Tapi merumuskan pertanyaan yang tepat dan benar itu kemampuan yang tidak cuma-cuma.
focus on the keystone
Satu hal yang benar-benar aku apresiasi sebagai alternatif dari “mengikuti arus” adalah saran orang tuaku tentang mengambil keputusan, tanpa peduli apakah itu sesuai kebiasaan atau tren.
Identifikasilah keystone di masa kini. Fokuslah pada batu kunci tersebut dalam membuat keputusan.
Batu kunci adalah satu hal yang paling sederhana yang mengantarkan kita ke hal lainnya yang lebih besar yang kita butuh dan inginkan. Memiliki batu kunci artinya melihat ke sedikit hal yang paling berpengaruh, lalu jadikan itu “pivot” dalam merumuskan keputusan atau rencana aksi. Batu kunciku, menurutku, adalah mendapatkan posisi yang paling sesuai dengan minat. Batu kunciku, menurut mereka, adalah mendapatkan akses ke lingkungan yang baik. Apakah bertabrakan? Alhamdulillah, tidak. Kita bisa menemukan jawaban yang sama, meski tidak langsung kita dapatkan.
Setelah melewatinya, aku akui, prioritas mereka lebih superior dibandingkan proposalku. Minat kita bisa dengan mudah berubah dalam satu malam, tapi mengubah lingkungan tidak bisa semudah itu, banyak pihak yang terlibat. Lingkungan yang baik akan sangat mebangunmu menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Sedangkan sekalinya kita masuk ke lingkungan yang buruk, sulit untuk keluar.