Home Blog
Post
Cancel

Belajar untuk tidak perlu berpikir panjang

Jika hanya butuh satu key takeway yang perlu dicamkan baik-baik pasca Ramadhan 1444 H, maka itu adalah bisikan “gak usah banyak mikir!”

…untuk hal-hal tertentu.


Siapa muslim yang tidak membuat targetan amalan tiap kali Ramadhan datang? Ah, kalau belum seperti itu, kayaknya hidup belum asik sih ya. Semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan selanjutnya dan merasakan keasikan berpuasa yang disertai dengan buanyak targetan.

Kenapa narget amalan? Sejujurnya aku tidak punya alasan logis. Cukup perhatikan sekitar dengan empiris. Memang nyatanya di bulan Ramadhan banyak orang merasa lebih mudah melakukan hal-hal yang baik.

Tapi bagaimana dengan setelahnya? Adakah orang yang menargetkan amalannya di antara Ramadhan? Membangun kebiasaan baru? Mempertahankan kebiasaan di Ramadhan yang telah berlalu? Dengan mengekstensi pemikiran di atas, kalau ada yang seperti ini, harusnya hidupnya makin asik ya. Makin menantang, maksudnya.

Memang yang menulis ini orangnya suka sekali menarget hal-hal yang abstrak tapi tidak punya malu juga buat banyak miss dalam perkara memperbaiki ritme hidupnya secara lahiriah — kebiasaan, habit fisik. Gagal mencapai target harian A, tidak konsisten melakukan B setiap X, malas-malasan mengeksekusi C… teruskan sendiri.

Setelah berkali-kali tertampar kenyataan bahwa aku adalah manusia yang super lemah untuk urusan habit building, maka mari kita coba menjalani pendakian pengembangan diri ini dari sisi lembah yang lain: a shift in mental perspective.

Sebelumnya proses membangun kebiasaan baik itu dikaitkan erat dengan kemampuan seseorang untuk mengontrol diri. Sedikit lupakan itu. Sekarang, mari kita bangun kaitan yang lebih kuat:

bahwa seseorang itu akan lebih mudah menanamkan kebiasaan baik jika ia sudah dengan mudah berdaulat atas pikirannya sesaat sebelum melakukan kebiasaan tersebut.

Apa maksud berdaulat di sini? Kenapa berdaulatnya sekarang? Memang dengan cara lama kita belum berdaulat?

Bagiku (saat ini!), pendekatan “kontrol” untuk membangun dan mempertahankan kebiasaan baik tidaklah begitu cocok. Ini karena aku terkesan bertunduk pada diri sendiri di masa lalu, yang begitu optimis dan penuh energi (bagus sih). Tapi, eerrr, entah mengapa begitu sulit untuk pendekatan ini masuk, nempel, dan cocok. Mungkin daku terlalu susah diatur.

Di sisi lain, kini, syukurnya, alhamdulilah, telah diraih kemampuan membedakan mana yang baik dan buruk. Sudah punya sedikit ilmunya tentang apa-apa yang ingin aku jadikan karakter dan kebiasaan. Sudah sedikit banyak mengenal diri sendiri juga: kelemahan, kekuatan, kecenderungan, ambisi, batasan. Ini bekal yang bagus. Ini prerequisite-nya.

Sehingga! Ketika kesempatan yang tepat itu tiba untuk melakukan suatu kebiasaan baik, dengan informasi dan ilmu yang dipunya, urusannya tinggallah memilih apakah mau melakukan amalan tersebut atau tidak. Ya atau tidak. Gas atau rem.

Melalui pendekatan “daulat” ini, aku harus memerdekakan diri dari aku di masa lalu, lalu sekarang telah berdaulat memilih untuk melakukan amalan baik itu. Lalu di kesempatan selanjutnya, secara sadar merdeka lalu memilih. Merdeka lalu memilih. Merdeka lalu memilih lagi. Lagi dan lagi.

Kedaulatan dalam berpikir untuk melakukan kebiasaan baik ini pada prakteknya adalah aksi tidak berpikir panjang untuk melakukan hal baik tersebut. Ini khususnya untuk amalan yang sifatnya terlokalisasi di diri pribadi, untuk menihilkan adanya pihak lain yang mungkin dirugikan karena keterbatasan diri kita, meski perbuatannya mulia sekalipun.

Kini, fungsi objektifnya (mohon maaf, bahasa matematika) adalah bukan lagi untuk menceklis kotak-kotak di catatan kebiasaan, tapi untuk menikmati pahit manisnya membawa kesadaran dalam memilih,

memilih untuk tidak berpikir panjang ketika akan melakukan apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala sukai. Just embrace the good thing like a smell of spring…

sebagai persiapan berlomba kembali di Ramadhan selanjutnya, jika masih ada usia.

eksekusi hal baik itu layaknya menghirup wangi musim semi

Pada akhir rantaian renungan ini, daku untuk sementara waktu memutuskan untuk tidak menargetkan suatu kebiasaan fisik yang spesifik. Kini mari kita berfokus mempertahankan saja yang sudah melekat, sembari menginstal “algoritma” yang baru tadi.

Ujung-ujungnya, justru perspektif itulah yang diharapkan akan menjadi kebiasaan baru: mendaulatkan aktivitas kepala dan dada. Karena kepala dan dada adalah instrumen aktivitas hati atau batin, maka bisa dibilang bahwa inilah yang dinamakan heart habit building, membangun kebiasaan hati.

…untuk hati yang lebih aktif dan responsif.

This post is licensed under CC BY 4.0 by the author.