Home Blog
Post
Cancel

Membeli buku itu tidak sepenuhnya salah

Ini sebuah deklarasi pembenaran diri, untuk menjustifikasi pengeluaran kedua terbesar setelah membayar kamar kosan.

Imej rajin baca buku adalah hal sering dilontarkan orang lain ketika aku tanya ke mereka, “What do you think of me?”

Tidak salah namun tak benar juga. Relatif. Mau lihat dari sisi mana?

Karena rajin beli buku, iya; rajin baca buku, urusan yang berbeda.

bookshop at edinburgh

Sejak pertama kali kuliah di perguruan tinggi, sejak memiliki kedaulatan mengatur uang selain untuk ongkos dan makan siang, memang ada program sendiri untuk menyisihkan jajan satu atau dua buku per bulan. Kalau diingat-ingat, ternyata porsi uang yang disisihkan itu makin lama makin mendominasi. Hingga aku berada pada suatu titik, “Hadeuh, yang kemarin dibeli aja belum dibuka.”

Kadang berpikir, apakah aku telah menghambur-hamburkan uang? Sebagian orang mana punya modal buat beli buku. Terus di sini aku beli-beli, tapi enggak kunjung dibaca? Mau seperti apa pertanggungjawabannya?

Niat aja dulu

Tapi memangnya seberapa banyak sih, orang yang seperti itu, di era tsunami infomasi? Apakah memang enggak punya akses? Atau mereka (termasuk aku!) tidak punya niat dan usaha yang cukup untuk membaca lebih banyak dan lebih bermanfaat?

Dan memang itu hanya sebagian dari masalahnya.

Sebenarnya, diri ini setidaknya sudah ada niat, hanya saja belum cukup usaha. Niat ini perlu dibarengi dengan aksi, dan aksinya baru setengah jalan. Bukunya baru saja dibeli, belum dibaca. Dari yang sebelumnya di luar jangkauan (masih di toko buku), sekarang sudah di dalam jangkauan (ambil dari rak).

Jadi, niatnya sudah ada. Aksinya sudah satu tahap. Tinggal minta ke Allah untuk dimudahkan memiliki waktu, ruang, dan kemampuan melahap ilmu dari buku-buku yang sudah kita punya. Tentu, ujungya adalah pengamalan terbaik dari ilmu-ilmu tersebut.

Memuliakan ilmu

Oke, mari bicara tentang ilmu dan rak buku. Dari berbagai kisah ulama aku belajar bahwa rak buku seseorang di rumahnya menunjukkan karakter orang tersebut.

Pertama, dari eksistensi rak buku itu sendiri. Keberadaan suatu rak buku di rumah seseorang menunjukan sedikit-banyak rasa penghormatannya terhadap ilmu yang direpresentasikan di buku-buku yang ia simpan.

Kedua, dari cara seseorang menata buku-buku di raknya. Jenis buku apa yang ada di bagian paling atas? Di tengah? Di baris bawah? Tentu ada adabnya tersediri, karena setiap ilmu pun tidak bisa diperlakukan dengan derajat kehormatan yang sama. Untuk mereka yang koleksinya sudah banyak, tataan rak buku juga menunjukan kepribadian dan minat — suatu wujud aktualisasi dirinya.

Barang tentu rak buku itu harus diisi oleh buku. Cara mendapatkan buku ya salah satunya adalah dengan dibeli. Satu poin lagi untuk terus beli buku!

Amalan lintas generasi

Aku percaya dengan amalan lintas generasi. Jika saja waktu di dunia ini tidak panjang tapi Tuhan tetap ijinkan aku membeli buku-buku, aku ingin apa yang telah terkumpulkan menjadi manfaat untuk orang-orang di sekitarku. Seminimalnya, adikku tertarik untuk membaca buku yang aku punya. Setidaknya, keluargaku tertarik untuk mendalami isi kepala salah satu anggotanya. Inginnya, keturunanku bisa meneruskan keresahan hati jika itu masih relevan.

Membangun perpustakaan pribadi yang juga perpustakaan keluarga. Itulah seminimal-minimalnya amalan lintas generasi yang bisa kucapai dari kebiasaan membeli buku ini.

Dari buku The Map of Knowledge karya Violet Muller, kita belajar bahwa salah satu tanda kebangkitan budaya ilmu di suatu masyarakat adalah adanya pihak yang begitu mencintai ilmu sehingga rela mengeluarkan tak sedikit resource-nya untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya sumber ilmu — dalam hal ini utamanya buku — ke dalam pangkuannya. Tentu biasanya pihak tersebut adalah penguasa atau orang kaya raya.

Mungkin aku bukan dan tidak akan jadi penguasa atau orang kaya raya di masyarakat. Namun, nyatanya aku masih diberikan kemampuan untuk menghadirkan *kekayaan yang lebih dalam *kepada unit masyarakat terkecil yang terdekat, yaitu keluargaku sendiri,

melalui buku-buku yang aku beli dari recehan uang bulanan.

Mari terus membeli buku! Haha.

Jangan lupa dibaca.

This post is licensed under CC BY 4.0 by the author.