Aku ragu untuk memulai percakapan ini: menjadi orang yang biasa-biasa saja. Sebelum ke arah sana, siapa yang berhak menentukan atau melabeli kita dengan julukan “biasa-biasa saja”?
Akan aku jawab, “a sincere self,” diri yang jujur.
Itu jawaban yang singkat. Jawaban panjangnya adalah mereka yang paling berhak untuk melihat kita sebagai orang yang biasa-biasa saja adalah mereka yang paling kita hormati dan cintai.
Terdengar seperti omong kosong, tapi perlu kukatakan inilah hal yang kuyakini. Agak sulit untuk mempertahankan argumentasi ini, aku terima begitu saja. Itulah alasan ia disebut “keyakinan”.
Lalu siapa orang-orang yang paling kita hormati dan cintai? Jawabannya ada di hati masing-masing insan. Cobalah renungkan beberapa saat. Bagiku, diriku yang jujur adalah salah satu orang yang aku hormati. Ia adalah sosok yang kadang sulit diajak mengobrol karena seringkali perkataannya tidak enak didengar oleh hati yang lemah ini. Tapi itu bukan sosok dengan derajat kehormatan paling tinggi di mataku, masih ada entitas-entitas lain yang lebih aku hormati dan cintai. Belum waktunya aku ceritakan mereka di sini.
Kembali ke vonis “biasa-biasa saja”.
Kita bisa mengatakan sesuatu itu biasa-biasa saja karena ada standar perbandingan di sana. Jika hidup ini tidak ada standar, maka tidak ada hak untuk memberi vonis “biasa-biasa saja”. Ketiadaan standar bagitu adalah hal yang aneh. Bagaimana dia bisa mendapatkan kepuasan hidup sedangkan kepuasan itu sendiri datang dari kondisi yang baik baginya? Apa “baik” bagi dia? Semua orang perlu memiliki standar. Semua orang punya “penggaris” kehidupan. Akibatnya, semua orang bisa menjadi biasa-biasa saja. Bahkan mungkin mayoritas memang begitu.
Apa penggaris hidup yang tepat bagi kita? Simpan pertanyaan itu untuk renungan selanjutnya. Kembali ke calon ketakutanku menjadi orang biasa-biasa saja yang aku ceritakan di tulisan sebelumnya.
Bagaimana jika aku menjadi orang yang biasa-biasa saja? Apakah nanti aku akan mati dipenuhi hutang dan penyesalan?
Tidak. Tidak. Tidak. Jangan khawatirkan itu. Tidak perlu mengkhawatirkan kondisi menjadi biasa-biasa saja. Khawatirlah ketika aku tidak tahu dan tidak mengaplikasikan cara menjadi “luar biasa.”
Khawatir yang pertama biasanya muncul ketika aku melupakan penggaris hidup yang ada di mejaku. Aku terpaku pada penggaris yang mengatakan bahwa yang biasa adalah yang tidak memenuhi metrik-metrik kehidupan yang nampak. Sedang itu, aku tidak menilik pada penggaris yang lebih meneliti seberapa baik metrik-metrik yang tidak nampak. Apa metrik yang tidak nampak?
Hati. Pola pikir. Monolog. Karakter. Pendirian. Sikap dan kondisi yang tak nampak. Akhlaqul karimah.
Mungkin juga aku lupa bahwa mereka dengan hati yang bersih, karakter yang kuat, pola pikir yang tertata, monolog yang menyenangkan, dan pendirian yang teguh adalah manusia yang luar biasa. Mengapa luar biasa? Karena mendapatkan kualitas-kualitas tersebut itu sulit, sulit, sulit sekali.
Antidote untuk kebiasabiasaansaja menurut penggaris untuk yang nampak adalah keluarbiasaan menurut penggaris untuk yang tak nampak.
Apa intinya? Meski kelihatannya engkau tak memiliki status atau produktivitas yang tinggi di dunia ini (biasa-biasa saja), fokuslah dalam membangun dan mempertahankan karakter yang luar biasa baik. Mereka yang memiliki karakter tersebut lebih cenderung untuk melakukan yang terbaik di segala urusannya–mendorong dia untuk lebih menjadi luar-biasa.
Abu Hurairah narrated that the Messenger of Allah was asked about that for which people are admitted into Paradise the most, so he said:
“Taqwa of Allah, and good character.” And he was asked about that for which people are admitted into the Fire the most, and he said: “ The mouth and the private parts.”1
Jami` at-Tirmidhi 2004 - Chapters on Righteousness And Maintaining Good Relations With Relatives. Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم) ↩︎