Rasionalitas yang tidak bisa berdiri sendiri
Sebagian besar masyarakat membangun kehidupan modernnya di bawah dominasi rasio. Ini ditandai oleh berkembang pesatnya ilmu logika dan matematika pada abad ke-17 dan 18 yang mengakselerasi perkembangan sains modern. Rasionalisme kini dikarakterisasikan sebagai cara hidup yang menggunakan sains positivistik sebagai sumber utama kebenaran dan/atau memaksimalkan penggunaan rasio dalam membuat keputusan-keputusan.1 Konsekuensi dominasi rasionalisme dalam kehidupan modern terlihat pada berkembangnya kondisi hidup secara material. Perkembangan material ini biasa ditandai oleh peristiwa revolusi industri.
Di sisi lain, terbentuk fenomena kehilangan makna kehidupan dalam masyarakat modern itu sendiri. Fenomena ini dikenal sebagai “modern meaninglessness” atau ketidakberartian modern. Max Weber memulai topik ini di kalangan filsuf dengan munculnya istilah “disenchantment of the world”. Disenchantment ini adalah pelepasan dunia dari penjelasan mistis; berpindahnya kepercayaan politeistik atau monoteistik kepada sains modern yang bebas dari Tuhan.2 Makna transendental ditinggalkan dan hanya berpegang pada makna rasional serta fakta dan observasi indrawi. Ternyata pemaknaan seperti itu tidak cukup untuk memuaskan hasrat intelektual manusia. Banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang tidak (atau belum) bisa dijawab oleh nalar logika dan sains, terutama pertanyaan tentang “mengapa”. Agama menawarkan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan “mengapa” tersebut melalui pendekatan spiritual-religius. Ini mengantarkan pada kritik bahwa praktik dengan pendekatan rasional tidak mampu menjadi satu-satunya cara berpikir.
Spiritualitas sebagai pelengkap
Spiritualitas dapat dipandang sebagai dua hal, yaitu spiritualitas yang terkait dengan kepercayaan religius dan yang tidak terkait. Spiritualitas pada orang yang religius termasuk ke dalam penemuan makna dan tujuan kehidupan berdasarkan ajaran agamanya. Makna dan tujuan ini didapat melalui praktik ibadah kepada Tuhan (atau banyak Tuhan) atau melalui pencapaian kontemplasi atau penyadaran diri. Tetapi spiritualitas tidak bisa dikotakkan pada domain agama saja. Terdapat kepercayaan dan praktik spiritual yang bahkan tidak terhubung dengan agama manapun.
Arti spiritualitas yang lebih umum ini sulit untuk didefinisikan. Namun, terdapat beberapa kondisi yang menjelaskan kapan fenomena atau seseorang dikatakan memiliki unsur “spiritual”.3 Pertama, adanya penekanan pada pencarian makna. Pencarian ini dapat berupa misi individu dalam menemukan nilai dan signifikasi kehidupan. Hasil pencarian tersebut akan membentuk identitas individu dan mendasari komitmen serta rencana hidup seseorang. Kedua, adanya eksistensi “inner space” dalam diri seseorang. Aspek ini berkaitan dengan kesadaran (awareness), keterpusatan (centeredness), dan keheningan (stillness) diri seseorang. Ketiga, manifestasi dari spiritualitas itu sendiri, yaitu orientasi dasar, motivasi, dan watak seorang individu terhadap dirinya, orang lain, dunia, dan kehidupan. Keempat, ajaran tentang bagaimana merespon alam dan manusia. Terakhir, kualitas atau praktik kolektif dan komunal di antara orang-orang yang memiliki spiritualitas tersebut.
Pendekatan spiritual mencari sumber kebenaran dari hal yang berbau meta-sains, seperti kebijaksanaan, tradisi, introspeksi, meditasi. Spiritualitas juga menggunakan sumber meta-utilitarian seperti motivasi, emosi, intuisi, dalam membuat keputusan. Ini berbeda dengan bagaimana pendekatan rasional bekerja. Namun, bukan berarti rasionalitas dan spiritualitas bersifat saling ekslusif. Tantangannya bukan pada perbedaan cara kerja kedua pendekatan tersebut, tetapi pada mana yang akan diproritaskan pada suatu konteks masalah. Rasionalitas yang berdasar pada konsep spiritualitas memiliki potensi sebagai jalan tengah. 4
Spritualitas reflektif sebagai bahasa bersama
Spiritualitas reflektif didefinisikan oleh Wade Clark Roof sebagai suatu pendekatan seseorang yang disengaja dan diarahankan sendiri untuk menumbuhkan makna religius.5 Untuk menjadi “reflektif” artinya untuk melihat kembali perspektif sendiri dan menyadari kemungkinan perspektif yang lain. Dengan begitu, untuk menjadi “reflektif secara spiritual” bermakna untuk terus-menerus menyadari keberagaman makna religius yang ada pada dunia modern dan terlibat secara sengaja dalam membentuk asimilasi yang kritis antara makna-makna tersebut ke dalam pendangan spiritualnya sendiri. Secara singkat, spiritual reflektif adalah suatu cara mendatangkan makna religius kepada kehidupan personal seseorang. Bagi orang-orang tertentu, bisa jadi proses reflektif tersebut sepenuhnya menggunakan pola pikir rasional.
Setiap orang secara individualistik membawa perspektif rasional dan spiritualnya masing-masing. Dalam semangat mencari makna, masyarakat modern bisa menyetujui common ground dari suatu masalah, lalu mengekspresikan pemaknaannya masing-masing. Dengan bersama-sama berreflektif, masyarakat modern mampu untuk memperbincangkan makna transenden tanpa meninggalkan pola pikir rasionalnya.6 Di sini spiritualitas reflektif dapat diterapkan sebagai “bahasa bersama” di tengah kultur yang tidak mengafirmasi spiritualitas yang seragam.
Melihat potensi tersebut, spiritualitas reflektif akan menggabungkan kepentingan rasionalitas dan spiritualitas. Masyarakat bisa terus mempertimbangkan keterbatasan dari rasionalitas modern tanpa menolak prinsip rasional itu sendiri. Dengan kata lain, spiritualitas efektif bisa menjadi cara masyarakat mengartikulasikan sistem makna yang rasional, sekaligus rasionalitas yang bermakna.
Referensi
Essay ini adalah salah satu tugas penulis di Mata Kuliah KU4225 Filsafat Ilmu di Institut Teknologi Bandung.
Bouckaert L. (2011) Spirituality and Rationality. In: Bouckaert L., Zsolnai L. (eds) Handbook of Spirituality and Business. Palgrave Macmillan, London. doi.org/10.1057/9780230321458_3 ↩︎
Kim, Sung Ho. (2017). “Max Weber” (revised ed.). Stanford Encyclopaedia of Philosophy. Center for the Study of Language and Information. ISSN 1095-5054. Dibuka 17 Maret 2021. ↩︎
Bouckaert L. (2011) Spirituality and Rationality. In: Bouckaert L., Zsolnai L. (eds) Handbook of Spirituality and Business. Palgrave Macmillan, London. doi.org/10.1057/9780230321458_3 ↩︎
Bouckaert L. (2011) Spirituality and Rationality. In: Bouckaert L., Zsolnai L. (eds) Handbook of Spirituality and Business. Palgrave Macmillan, London. doi.org/10.1057/9780230321458_3 ↩︎
Wade Clark Roof (200), Spiritual Seeking in the United States: Report on a Panel Study, Archives de sciences sociales des religions, 109, 49-66. doi.org/10.4000/assr.20174 ↩︎
Besecke, K. (2001). Speaking of Meaning in Modernity: Reflexive Spirituality as a Cultural Resource. Sociology of Religion, 62(3), 365. doi:10.2307/3712355 ↩︎