Home Blog
Post
Cancel

Membunuh Penulis Palsu

Tidak ada yang lebih bebas sekaligus lebih mengekang daripada terjebak di dalam kepalamu sendiri. Dan mungkin aku telah terkekang selama lebih dari 20 tahun. Kini saatnya aku membebaskan diri.

Konsumsi media telah banyak memengaruhiku sejak kecil. Mungkin ia diawali dari kolom-kolom komik di Majalah Bobo yang biasa aku ceritakan tanpa mampu kubaca tulisannya. Pikiranku tak henti berandai-andai. Andai ada tokoh A, andai ada tokoh B. Andai ada peristiwa D, andai terjadi konflik C. Penuh. Penuhi pikiran, hingga rasanya kepalaku tidak punya cukup ruang.

Semakin bertambah usia, semakin aku bisa berpikir pragmatis. Bagaimana kalau kita ubah saja imajinasi-imajinasi tersebut menjadi buku cerita? Khayalanmu bisa berubah menjadi penghasilan.

Proposal diri yang menarik. “Menulis” terdengar seperti aktivitas yang produktif. Mulailah aku berlatih menulis — seingatku — sejak usia 10 tahun. Menulis jurnal harian di buku dan mengetik imajinasi atau kompilasi ilmuku di komputer. Internet pun sudah di genggaman. Saat itu bertepatan sekali dengan berkembangnya dunia blogsphere di Tumblr, Wordpress, dan Blogger. Aku pun ikut meramaikan, mencoba semua medium yang kutemui.

Saat itu mulai terbebas ruang di kepalaku. Kekusutan terurai. Kejernihan tercapai. Aku terus menulis, disambi mengotak-atik hal lainnya yang komplementer, seperti merancang tampilan blog yang aku pakai (dari sini pula lah aku mulai menyukai pemrograman komputer).

Jika ditelusuri di mesin pencarian, masih ada bekas-bekas rasa penasaranku. Tidak semua berhasil aku hapus jejaknya, gara-gara lupa password untuk login ke satu-dua website.

Ya, banyak sekali dari apa yang pernah aku tulis di internet, sudah kuhapus jejaknya. Mengapa dihapus?

Karena geli. Menggelikan.

Entah mengapa, ketika aku membaca tulisan-tulisan itu setelah beberapa waktu berlalu, aku merasa palsu. Rasa palsu ini muncul ketika aku tidak bisa relate dengan isi pikiran penulis. Penulisnya yang palsu, atau aku-di-saat-membaca-ulang-lagi-lah yang palsu. “Kok nada tulisan dia seperti ini? Kok pikirannya begitu? Kok ceritanya tidak masuk akal begini? Kok aku tidak seperti ini?”

Mengapa terjadi ketidakberhubungan? Apakah aku terlah berubah? Tentu manusia selalu berubah dari masa ke masa. Apakah aku yang terlalu cepat berubah?

Rasa kepalsuan tersebut tidak mengenakkan. Mungkin ini adalah campuran rasa malu, kaget, dan rendah diri. Aku jadi membenci aktivitas menulis — menulis yang serius. Jurnal harianku masih berlanjut, karena di situ hanya menulis sesuatu yang sederhana dan yang sudah terjadi. Satu atau dua kalimat saja untuk sehari atau sepekan. Namun tidak untuk menulis sesuatu yang terlihat ada “ujungnya.”

Secara sengaja, kutinggalkan aktivitas menulis selama beberapa kuartal. Aku tidak ingin bertemu si penulis palsu.

Tak heran, kepalaku penuh lagi, atau, dalam bahasa yang kugunakan saat itu: absen dari kesadaran.

feet and spring is coming

Memerdekakan ruang

Singkat cerita, rasa kepalsuan itu tak mau juga pergi. Ia datang melalui pengantar lain, pengantar yang membawa segudang drama mental. Drama mental yang memberiku satu kesimpulan yang juga menjawab inkuiri usangku. Ingat tentang pertanyaan apakah diri ini yang terlalu cepat berubah? Jawabannya, salah. Ketidakberhubungan yang mengakari rasa palsuku itu bukan karena perubahan diri, tapi karena tidak kenalnya aku pada diri sendiri.

Di waktu yang tidak berjauhan, aku pun mulai memahami bahwa salah satu sumber ketidakbahagiaan terbesar adalah tidak mampunya kita mengenal diri kita sendiri. Dan kepalsuan yang bertahun-tahun bersarang di kamar perasaanku sejujurnya adalah ketidakbahagiaan.

Sekarang semuanya sudah lebih jelas.

Aku kembali menulis, namun dengan proposal baru. Bukan untuk imajinasiku, tapi untuk menemukan dan membuka kembali ruang-ruang di kepala, juga kini, di hati — menulis untuk lebih mengenal diri sendiri. Tak perlu aku menulis untuk siapa-siapa, hanya untuk diriku sendiri. Segitu self-centred-nya!

Tapi siapa lagi yang mau mengubahku kalau bukan aku sendiri?

Tentu atas izin-Nya.

Ternyata prosesnya panjang. Si penulis palsu kerap mengetok pintu, mencoba kembali menjajah ruang-ruang yang berhasil aku kosongkan.

Siapa sebenarnya si penulis palsu ini? Carikan cahaya seterang-terangnya untuk menyorot kepalsuan itu!

Ah, tentu belajar lagi adalah kuncinya. Seperti bagaimana dulu aku memahami hakikat kebahagiaan. Lalu setelah mengobservasi proses produksi satu tulisan ke tulisan lain, aku bisa menarik dua benang.

Pertama.

Penulis palsu itu adalah penulis yang tidak ikhlas.

Aku menjadi penulis palsu ketika niatku dalam menulis itu tidak ikhlas. Ketidakikhlasan mudah dicapai

  • ketika memang tujuannya salah, atau
  • ketika tujuan dalam menulis sesuatu itu ada banyak, dan aku tidak secara deliberate menempatkan urutan, posisi, dan prioritas objektif yang aku miliki dalam proses tersebut. Aku tidak berlaku adil di sini.

Sebaliknya, keikhlasan sama sekali tidak mudah dicapai. Kekuatanku untuk mengikhlaskan niat sangatlah rapuh, setidaknya saat ini.

Dan jika kita sudah membicarakan niat, maka pertanyaan besarnya adalah, “Untuk siapa dan untuk apa?”

— tidak hanya untuk menulis, tapi untuk aktivitas-aktivitas lainnya juga.

Untuk menghilangkan, atau lebih tepatnya, membunuh si penulis palsu, aku harus terus menyadari pergulatan terbesar di peperangan tersulit seorang manusia: meluruskan niat.

Kedua.

Ruang di kepala dan hati itu bukan untuk dikosongkan terus-menerus, tapi untuk diisi dengan bola lampu yang terang cahayanya dan dihidupkan oleh barang-barang yang terbaik.

Cahaya tersebut berasal dari sholat dan sedekah. Sedang dzikir adalah barang terbaiknya.1

Dengan begini, harusnya segala problematikaku dalam “hulu”-nya menulis terselesaikan. Ruang-ruang itu merdeka dari imajinasi yang menggaduhkan dan menyesakkan. Hingga pada hilirnya, apa yang aku tulis tidaklah palsu bagiku.

Edinburgh, 02:38 BST, 28 Ramadhan 1444 H.

  1. Muslim. https://sunnah.com/riyadussalihin:25 

This post is licensed under CC BY 4.0 by the author.