Post

Mengelola Community-First Research Initiatives: Tiga Bulan Pertama

Catatan seorang idealis yang bertemu realita

Mengelola Community-First Research Initiatives: Tiga Bulan Pertama

Pada suatu sore di bulan Juli 2024, sebuah tanggung jawab baru diletakkan di pundak saya: menjadi direktur sebuah lembaga think tank informal yang berfokus pada pengembangan pemikiran Islam integratif: Afkar Institute. Setelah sembilan bulan berkutat dengan manajemen operasional digital dan administrasi sebagai sekretarisnya, saya kini dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih besar:

Bagaimana caranya menciptakan dampak dari suatu organisasi berbasis gerakan intelektual at its nascent state?

Agustus menjadi bulan perenungan dan perencanaan. Saya kembali pada metode yang sudah mendarah daging: duduk berjam-jam di depan kertas kosong (layar, lebih tepatnya), mencoba memetakan kompleksitas tantangan yang dihadapi. Setiap aspek dianalisis, setiap kemungkinan dipertimbangkan, hingga tercipta sebuah kerangka berpikir yang utuh. Ada kenyamanan tersendiri dalam aktivitas ‘memetakan masalah’ ini — sebuah metodologi yang sudah sangat familiar dari tahun-tahun berorganisasi di kampus ITB.

Dari kerangka berpikir yang runut diharapkan menghasilkan eksekusi yang rapi pula. Dari sinilah bulatan “START” itu terasa bagaikan peluit dimulainya maraton yang tidak didefinisikan selesai di kilometer berapa.

Kehidupan saya tidak akan terlepas dari titik dan garis.

September adalah masa yang krusial untuk studi kasus dan perumusan visi. Mengamati berbagai model lembaga think tank, dari gerakan filosofis global hingga institusi penelitian Islam tradisional, saya berusaha menemukan pola yang bisa diadaptasi untuk suatu komunitas yang tersebar di berbagai belahan dunia, berlatar belakang yang beragam, dan berdiskusi hampir selalu lewat komunikasi daring. Hasil perenungan ini kemudian dituangkan dalam dokumen misi tahunan dan struktur organisasi yang diperlukan untuk mewujudkannya.

Oktober membawa dinamika baru dengan dibukanya kesempatan bergabung untuk para anggota komunitas EC yang sudah melewati training Stage 1. Sedangkan November menjadi bulan pertama implementasi dari segala rencana yang telah disusun. Dan di sinilah kisah sesungguhnya dimulai…

“Membangun fondasi Afkar Institute sebagai pusat pengembangan pemikiran Islam integratif yang menumbuhkan kapasitas intelektual Muslim serta memformulasikan dan menyebarluaskan narasi Qur’ani di berbagai disiplin ilmu.” Tujuan ini dicapai melalui penguatan budaya ilmu dalam tiap individu dan komunitas, juga ditopang oleh sistem infrastruktur dan manajemen yang efektif.

— Pernyataan Misi Utama Afkar Institute Periode 2024/2025

Menapaki Jalur yang Belum Terpeta

Ketika saya menulis artikel pertama tentang integrasi nilai-nilai Islam dalam penelitian ilmiah beberapa waktu lalu, saya belum sepenuhnya menyadari kompleksitas tantangan yang akan dihadapi dalam memimpin sebuah institusi yang bergerak di ranah ini. Satu tahun pertama tergabung dalam inisiatif ini dan tiga bulan pertama mengarahkan Afkar Institute telah membuka mata saya pada berbagai tantangan baru yang tangible namun tidak terlihat secara kasat mata.

Berhadapan dengan Paradoks Fundamental

Tantangan pertama yang menghadang adalah paradoks mendasar: bagaimana membangun sebuah institusi yang solid dengan sumber daya yang sangat terbatas?

Dengan tim inti yang sekarang baru berjumlah tidak lebih dari belasan orang — datang secara voluntary — kami dihadapkan pada tugas membimbing lebih dari 300 alumni dalam suatu perjalanan intelektual: menggagas narasi Qur’ani di bidangnya masing-masing. Rasio pembimbing dan peserta yang mencapai 1:30 ini bukanlah sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari dilema mendalam dalam upaya mentransformasi cara pandang keilmuan secara sistematis.

Kompleksitas Integrasi Keilmuan

Salah satu pembelajaran paling berharga adalah bahwa integrasi keilmuan Islam dan sains modern jauh lebih kompleks dari sekadar mencari ayat-ayat yang relevan dengan bidang tertentu (baca: ayatisasi). Ini adalah perjuangan epistemologis yang menuntut pemahaman mendalam tentang fondasi filosofis kedua tradisi tersebut. Analoginya, untuk bisa mempugar suatu bangunan agar strukturnya lebih kokoh, kita harus memerhatikan pondasi bangunannya itu sendiri — bahkan sebelum menganalisis struktur existing-nya.

Sebagai contoh, ketika saya mencoba mengembangkan kerangka kerja untuk mengintegrasikan perspektif Islam dalam penelitian AI, saya menemukan bahwa konsep-konsep seperti ‘kecerdasan’ dan ‘kesadaran’ memiliki makna yang sangat berbeda dalam tradisi Islam dan sains modern. Ini bukan sekadar perbedaan terminologi, melainkan mencerminkan worldview yang fundamental berbeda tentang hakikat manusia dan realitas — beberapa konsep-konsep kunci dari pandangan alam Islam.

Terlebih lagi, kapankah kita bisa mendalami konsep-konsep abstrak seperti ‘kecerdasan’ maupun ‘kesadaran’ ketika dia bukanlah murid yang pernah kuliah di bidang psikologi, neurosains, atau filsafat? Tentu kita harus memiliki motivasi, daya, serta kemampuan belajar yang tinggi, dilengkapi dengan akses ke resource yang tepat.

Menghadapi Keterbatasan Struktural

Pertanyaan di atas membawa kita pada tantangan berikutnya: keterbatasan struktural. Mayoritas tim kami adalah akademisi muda yang masih dalam tahap awal karir atau praktisi yang tidak terbiasa deep dive suatu bidang ilmu multidisiplin — minimal antara bidang utamanya dengan tradisi keilmuan Islam. Mereka membawa semangat dan ide-ide segar, namun juga menghadapi kendala waktu dan resources. Bagaimana menyeimbangkan antara idealisme membangun tradisi keilmuan Islam yang kokoh dengan realitas kehidupan profesional telah menjadi pertanyaan yang terus menghantui hari ke hari.

Menemukan Arah di Tengah Ketidakpastian

Di tengah berbagai tantangan ini, secara perlahan mulai terbentuk clarity tentang arah yang harus ditempuh. Kami mulai memahami bahwa membangun institusi penelitian berbasis komunitas membutuhkan pendekatan yang berbeda dari model akademik konvensional.

Alih-alih langsung loncat mencoba menjadi “universitas mini,” kami mulai memposisikan diri sebagai fasilitator yang membantu para profesional dan akademisi mengintegrasikan perspektif Islam dalam bidang keahlian mereka masing-masing. Ini mengubah fokus kami dari “mengajar” menjadi “mendampingi proses penemuan.” Tentu saja kami sebagai para penggerak harus mendampingi satu sama lain. Peer-reviewed.

Menatap Masa Depan

Tiga bulan ini telah mengajarkan bahwa membangun jembatan antara tradisi keilmuan Islam dan sains modern adalah proyek generasional yang membutuhkan kesabaran, kerendahan hati, dan keterbukaan untuk terus belajar. Kami mungkin baru di tahap sangat awal, tetapi setidaknya sudah mulai memahami kompleksitas tantangan yang dihadapi.

Yang memberi harapan adalah semangat komunitas yang tidak pernah surut untuk terus belajar dan berkontribusi. Mungkin di sinilah letak kebijaksanaan dari konsep ‘budaya ilmu’ yang sering dibicarakan para pemikir Muslim: bahwa transformasi keilmuan sejati terjadi melalui proses organik yang melibatkan seluruh komponen suatu komunitas, termasuk individu-individu di dalamnya. Ini bukanlah sekadar melalui pendekatan top-down yang terlalu rigid dan seragam. Ini adalah transformasi unik nan fundamental pada tiap individu, yang dengan gerakan kolektifnya akan menggerakan perubahan generasional — synchronised motions in unity, not uniformity.

This post is licensed under CC BY 4.0 by the author.