Berkuliah di ITB layaknya suatu mimpi berubah jadi kenyataan. Penulis telah membayangkan status tersebut ketika merangkai suatu essai pendek mengenai cita-cita di kelas 2 SD. Di sana, Penulis menyebutkan daftar sekolah yang akan ia masuki serta profesi apa yang akan dijalani. Heh, melihatnya lagi, ternyata cita-cita masa kecil benar-benar terbatasi dengan eksposur dunia nyata. Cita-cita Penulis di dunia ini berhenti di profesi, seakan-akan profesi adalah suatu destinasi kesuksesan.
Namun, tinggalkan pembahasan tentang cita-cita. Pada bulan Mei 2017, Penulis diterima di FMIPA ITB. Secara teknis, ia diterima di pilihan pertama SNMPTN. Namun, secara hati, itu bukan pilihan pertama. Ya sudah, singkatnya, hasil ini sebenarnya (sangat!) patut Penulis syukuri. Dan dia cukup terlambat mensyukurinya. Jalan yang Tuhan berikan memang selalu yang terbaik.
Tidak terduga, “instruksi-instruksi” awal yang Penulis dapatkan dari orangtuanya bukanlah tentang cara belajar atau jurusan apa yang akan dipilih, tapi di mana ia akan main. Tempat pertama yang mereka rekomendasikan untuk dikunjungi segera setelah Penulis pindah ke kamar indekos di Bandung adalah Masjid Salman ITB.
Masjid Salman ITB
Penulis terekspos pada masjid terebut melalui suatu iklan kepanitiaan. Saat itu masyarakat ITB berkomunikasi lewat aplikasi chatting LINE. Para peserta yang lolos SNMPTN segera dibuatkan grup LINE oleh kakak-kakak tingkat yang antusias menyambut calon adik-adiknya. Dari channel komunikasi itulah Penulis pertama kali mendapat pemberitahuan bahwa Panitia Persiapan Idul Adha (P3I) 1438 H dari Masjid Salman ITB sedang membuka pendaftaran panitia baru. Karena di antara pengumuman SNMPTN dan Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) dari kampus itu nihil kegiatan, Penulis tak punya pilihan selain tertarik mencicipi dunia kemahasiswaan.
Ternyata P3I selain mengadakan kegiatan sholat Ied Adha dan kurban, mereka juga menghadirkan acara festival dan kajian-kajian untuk memeriahkan suasana hari raya. Oh, tentu kalau ada kegiatan, ada pendokumentasian. Itulah yang Penulis incar. Divisi Dokumentasi menjadi divisi pilihan pertamanya. Dia selalu ingin memegang kamera DSLR di kegiatan-kegiatan yang ramai (saat itu hanya punya kamera saku). Memerhatikan interaksi dan ekspresi orang lain selalu terasa lebih nyaman daripada diam saja, menjadi pusat perhatian, atau mengikuti pusat perhatian.
Dengan sedikit persuasi bahwa Penulis pernah berpengalaman jadi “petugas dokum” kelas sepanjang masa SMA, dia berhasil diterima di Divisi Dokumentasi. Tak disangka, ternyata tugas staff Dokumentasi tidak hanya jeprat-jepret, tapi juga mengurusi video-video promosi. Waw, ini hal baru.
Di akhir Juli 2017, Penulis pindah ke Bandung. Dan memang, tempat kedua yang ia kunjungi setelah bangunan indekos adalah Masjid Salman ITB (tidak menghitung warung sebelah tempat beli makan). Saat itu Penulis tinggal di daerah Pelesiran. Ke Masjid Salman hanya butuh jalan kaki 5 menit, dengan sedikit jalanan menanjak yang lumayan menyehatkan. 💪
Penampakan Koridor Timur Masjid Salman ITB
P3I 1448 H
Tidak. Pernah. Penulis. Melihat. Masjid. Seramai. Ini. Yang benar-benar ramai. Secara organik ramai. Mungkin ia pernah ke Masjid Istiqlal di Jakarta atau Masjid Kubah Mas di Depok, tapi sepengalamannya (yang singkat), tempat-tempat tadi diramaikan oleh pengunjung jauh. Salman penuh karena orang setempat: karyawan, mahasiswa, dan warga lokal. Masjid ini dilalu-lalangi dari subuh hingga semalam kegiatan kemahasiswaaan yang ditoleransi. Di awal-awal kunjungan Penulis ke sana, ia melihat ke seberang masjid, lapangan rumput timur ITB, sedang ada ospek jurusan. Berdasarkan cerita kakak tingkat, mereka yang ospek sering mendapatkan “panggilan malam” dan beberapa dari mereka memilih untuk menginap di Masjid Salman untuk mengerjakan tugas ospek bersama-sama.
Setelah beberapa hari di Bandung, mulailah tugas Penulis di Dokumentasi P3I. Selain rapat dan kenalan, hal yang pertama mereka lakukan: mengedit video bumper. Penulis tidak berpengalaman mengedit video yang aneh-aneh selain untuk tugas sekolah. Di sana Penulis diajari oleh kadivnya, Kak Jihad, cara merancang video promosi yang singkat namun menarik, memotong-motong klip video dokumentasi tahun sebelumnya, bagaimana cara mensikroniasikan tiap klip dengan beat musik latar yang digunakan. Well, Penulis saat itu tidak punya skill jadi menonton dan mengomentari saja.
Belajar kamera? Tidak terlalu banyak, Penulis sudah cukup adaptif dengan tombol-tombol di kamera digital/DLSR. Karena belum begitu paham teori-teori teknis fotografi, dia disarankan untuk menggunakan mode “Auto” saja. 😅 Namun Kepala Bidang Dokumentasi & Publikasi saat itu, Kak Dhimas, mengajarkan tentang prinsip-prinsip proporsi dalam mengambil gambar. Ya, 95% perhatian kita saat mengambil gambar adalah proporsi dan penempatan objek fokus yang tepat dalam frame.
Di malam Ied, Penulis sampai menginap di Masjid Salman agar bisa bersiap melakukan dokumentasi shalat Ied dan kegiatan kurban.
Bagi-bagi danging kurban dalam besek
Semoga dombanya enggak gelisah
Jamaah Shalat Ied di ITB Kampus Ganesha
Penulis baru terekspos dengan divisi lain di hari itu. Wow. Sebelumnya ia tidak tahu bahwa para pemuda bisa seterlibat ini dalam kegiatan perayaan ibadah. Di kampungnya tinggal, ibadah ritual hanya terlihat dikelola oleh orang-orang tua. Ini suatu konsep baru baginya.
Aku tidak tahu bahwa para pemuda bisa melayani kegiatan peribadahan dengan seantusias dan semeriah ini.
Di hari Ied, Penulis bertugas untuk memotret sapi-sapi yang akan disembelih, lengkap dengan nama-nama pengkurbannya. Dokumentasi tersebut adalah bukti amanah kurban yang dititipkan ke panitia.
Oh ya, inilah pertama kalinya dia melaksanakan shalat Ied jauh dari orang tua 🙂.
Dua hari setelahnya, diadakan Bandung Adha Festival atau disingkat BAF. Di sana diadakan bagi-bagi sate gratis, stand-stand komunitas, toko pakaian, atau warung makan. Ada juga donor darah (atau cek kesehatan gratis ya?), wahana games, tempat memanah, dan panggung penampilan. Penulis menonton pertunjukkan dongeng, nasyid, dan beberapa penampilan asyik lain. Dia ditugaskan untuk memusatkan dokumentasinya di panggung tersebut.
Pemirsa panggung Bandung Adha Festival
Bidang Dokumentasi & Publikasi P3I 1438 H
Saat itu sudah masuk minggu perkuliahan. Jadi, sebagian besar dari panitia memang sedang berada di puncak semangat menjadi mahasiswa baru. Saking semangatnya, ketika ada tawaran berkegiatan lain dari kakak tingkat, Penulis dan beberapa temannya dari bidang Dokumentasi & Publikasi mengikuti tanpa banyak pikir panjang. Itulah awal terbentuknya grup Kreator yang dibimbing oleh Kak Dhimas.
Kreator: Menuju Dakwah Kampus
Ternyata Kak Dhimas ini juga aktif di unit keagamaan di kampus, Keluarga Mahasiswa Islam (GAMAIS) ITB, dan mengemban peran sebagai Ketua Departemen Syiar Media. Sepuluh orang staff di bawah bidang yang dia pegang di P3I diajak untuk bareng-bareng belajar tentang dokumentasi dan media, di dalam bungkusan semangat syiar Islam di kampus.
Banyak sekali yang mereka pelajari, yang materinya disampaikan juga oleh kakak-kakak GAMAIS yang lain. Masih melanjutkan semangat syiar dari P3I, kakak-kakak ini menunjukkan seperti apa lanskap syiar Islam di kampus. Sebelum mendaftar GAMAIS pun, mereka sudah diberitahu bagaimana tujuan dakwah kampus. Ini kalimat yang paling Penulis ingat pada saat itu: membentuk alumni yang berafiliasi dengan Islam.
Tentu yang asyik dari kelompok yang selanjutnya mereka namai Kreator ini adalah sesi belajar hands-on bareng di hampir tiap weekend selama semester 1. Kadang mereka mengumpul di suatu tempat layaknya sedang mentoring, kadang turun langsung ke lapangan untuk jepret-jepret atau ambil rekaman, atau berbagi hasil belajar masing-masing. Penulis pernah mempresentasikan tentang potensi Medium sebagai media baru untuk menyebarkan konten yang GAMAIS ITB buat, juga pilihan software video editor yang mungkin digunakan.
Ini daftar hal yang mereka pelajari selama satu semester:
- Motivasi dakwah kampus
- Fotografi dan videografi, mengoperasikan kamera, dan editing
- Membuat desain grafis
- Menulis artikel pendek
- Wawancara orang dan promosi sesuatu secara langsung ke orang-orang
- Memilih dan mengelola media daring (OA LINE Kreator sendiri)
- Semua ilmu dan latihan tersebut diaplikasikan di akhir semester ketika mereka diminta untuk membuat konten di libur singkat antara semester 1 dan 2.
Ini beberapa dari poster yang pertama Penulis buat ketika kuliah.
Dari pengalaman di Kreator, Penulis belajar bahwa berorganisasi tidak melulu tentang mengerjakan tugas melaksanakan program kerja, tapi juga ada unsur belajar dan bermain. Apalagi jika kita menjalani itu semua dengan beginner mindset–bahwa kita tidak tahu banyak hal tapi bersemangat untuk belajar, bahwa banyak hal menarik dari tugas-tugas ini yang bisa kita ekplorasi, bahwa setiap orang dan peristiwa bisa menjadi guru dan kita pun bisa menjadi guru bagi orang lain. Tentu, itu semua tidak terlepas dari peran pembimbing/pemimpin di dalamnya yang bisa memotivasi dan membantu kelompok dalam berprogres.
Selain itu, bisa mengenali why dari suatu kegiatan organisasi itu penting untuk bisa tetap bertahan konsisten berkontribusi di sana. Penulis bersyukur karena kakak-kakak yang mendampingi Kreator tidak hanya mengajari kami aspek-aspek teknis dalam content creating, tapi juga memasukkan ruh semangat mengapa kita harus berkarya sejak awal: syiar Islam, untuk membentuk calon pemimpin yang memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur yang agama kita ajarkan.
Mengenali why dari apa yang kita lakukan dan menjalaninya dengan beginner mindset membuat kontribusi kita lebih konsisten dan menyenangkan.
Setelah semester 1 berakhir, teman-teman Kreator masih ada, meski satu dua orang sudah mulai mengambil jalannya masing-masing. Itu normal. Sebagian besar terlibat menjadi staff di kepengurusan GAMAIS ITB 2018. Di masa depan kami benar-benar terpisah. Ada yang mendirikan unit kemahasiswaan baru, ada yang menjadi kepala unit, ada yang fokus berakademik, atau ada yang terdistraksi–seperti Penulis .
Ya, setelah itu Penulis mulai terdistraksi. Tanpa disadari, ia selalu ingin jadi orang yang terlibat. I want to be in the room where it happens. Dan semakin terlibat diri, semakin sulit tantangannya. Perjalanannya semakin naik dan–secara bersamaan–semakin turun.