Home Blog
Post
Cancel

Sains, Bebas-Nilai atau Terikat-Nilai?

Perdebatan mengenai apakah harusnya sains itu bebas-nilai atau terikat-nilai telah berlangsung semenjak munculnya perbedaan kultural yang mencolok di pada tahun 1930-an dan 1940-an. Pada saat itu, para filsuf mencoba merumuskan bagaimana suatu sains itu dijustifikasi hanya dengan akal dan bukti empiris saja. Lalu pada tahun 1950-an dan 1960-an, beberapa filsuf menunjukkan bahwa para ilmuan memerlukan panduan lebih dalam menentukan pilihan dalam meneliti–theory of choice–dengan hanya menggunakan logika akal dan bukti empiris. Nilai epistemis menjadi istilah yang diakui dapat memandu sains dalam theory of choice. Pada tahun 1980, “sains bebas-nilai” memiliki makna bahwa sains itu bebas sama sekali dari nilai non-epistemis. 1

Scriven (1972) mengkritik perdebatan ini. Dia menuliskan,

“Jika ada satu rangkaian argumen yang lebih buruk daripada yang diajukan untuk ‘sains bebas-nilai’, maka itu adalah argumen yang diajukan untuk menentangnya. Keduanya memiliki satu karakteristik yang sama, selain frekuensi ketidakabsahan yang tinggi, adalah kegagalan untuk melakukan upaya serius pada analisis yang masuk akal dari konsep ‘penilaian nilai’.”

Ernan McMullin (1982) juga mengatakan bahwa tidaklah bijaksana untuk mencoba menemukan satu gagasan yang ingin diterapkan dalam semua konteks. Namun begitu, terlepas dari perdebatan ini, kita perlu memahami lebih jelas tentang apa itu nilai, seperti apa kaitannya dengan pilihan ilmiah, serta bagaimana idealisme ini mulai memudar. 2

Idealisme Sains Bebas-Nilai

Tesis dari sains bebas-nilai adalah sebagai berikut. 3

  1. Sains tidak berhak untuk merumuskan sesuatu yang terikat menggunakan nilai non kognitif atau nilai non eptistemis. Sains yang begitu dikatakan “bad science”.
  2. Sains tidak dapat memberikan tujuan, tapi dapat menunjukkan cara yang efisien untuk mencapai suatu tujuan terpilih, atau untuk memperlihatkan kerealistisannya.

Pendekatan “bebas-nilai” ini semakin menunjukkan keterbatasannya ketika penelitian menuju kemandekan dalam hal metodologi, khususnya pada penelitian yang berkaitan dengan manusia sebagai subjek dan aplikasi sains pada teknologi, seperti psikologi. Banyak filsuf yang berargumen bahwa pembagian nilai epistemis dan non epistemis tidak cukup jelas sehingga keidealan sains bebas-nilai ini tidak mungkin atau tidak mudah dicapai.

Rasionalisasi dan Tanggung Jawab Sains

Rasionalisasi sains terkadang dilihat hanya sebagai instrumen. Biasanya, tujuan telah ditentukan, metode dan caranya ditemukan oleh sains, lalu diikuti. Tanggung jawab sains terbatas pada tanggung jawab atas validitas kognitif hasil penelitian dan keandalan aplikasinya.

1. Sains berpartisipasi membagikan kekuasaan sosial dengan menyediakan pengetahuan dan teknologi

Poin ini berdasarkan fakta bahwa penelitian biasanya dibiayai oleh pihak tertentu. Dengan menerima biaya riset dari suatu pihak, ilmuwan setuju untuk menghadirkan hasil riset kepada pihak yang membiayai. Di sini, ilmuwan berpartisipasi pada proses sosial dengan memberikan pengetahuan kepada suatu kelompok sosial dari pada yang lain. Kelompok tersebut bisa berupa korporasi industri, departemen keamanan, atau institusi kesehatan nasional.

Ilmuwan bisa jadi dihadapkan pada situasi sulit. Ia hanya punya pilihan antara melaksanakan riset sesuai aturan institusi atau tidak melakukannya sama sekali. Jika riset itu dijalankan, tentu itu adalah suatu tanda bahwa telah dibawanya nilai dari institusi pembiaya riset tadi.

Sains tidak langsung memberikan tujuan, tapi mengamini suatu tujuan dengan memberikannya jalan. Ketika pengetahuan sudah di tangan non ilmuwan, ia dapat bertransformasi menjadi kekuasaan. Inilah letak keterikatan-nilai sains dalam mencapai tujuan tersebut. Semenjak banyaknya dikusi tentang hal ini, idealitas sains bebas-nilai semakin lemah posisinya di kalangan filsuf dan ilmuwan.

2. Sains memberikan dasar untuk evaluasi ide dan kebijakan

Teknologi berbasis sains biasanya sangat berorientasi pada tujuan akhir yang spesifik. Mengembangkan suatu teknologi baru artinya membuka kemungkinan baru pada institusi sosial yang menerimanya. Ini menyebabkan terjadinya perkembangan sosial pada masyarakat.

Membentuk perkembangan sosial tidak terbatas pada pengembangan teknologi. Sains, atau lebih tepatnya ide ilmiah, dapat dipergunakan untuk mendukung program politik. Di sini, sains dipakai sebagai basis untuk mengevaluasi keadaan dan kebijakan sosial. Contohnya, nilai kesetaraan sosial dipahami sebagai kesetaraan kesempatan dalam mendapatkan taraf hidup yang baik. Ide ini menumbuhkan program-program edukasi yang mengkompensasi aksi diskriminasi dan ekslusi terhadap kelompok sosial tertentu di masa lalu. Prasangka yang mendasarinya adalah bahwa perbedaan bawaan tersebar secara seragam ke seluruh kelompok sosial. Namun, jika penelitian ilmiah menetapkan bahwa perbedaan tersebut berada pada dasar biologis (contoh perbedaan dalam keterampilan matematika adalah antara anak laki-laki dan perempuan), maka program-program tersebut akan dievaluasi tidak cukup berguna. Sains dapat mengubah pemahaman kita akan nilai-nilai dasar, dalam kasus tadi, tentang letak perbedaan kemampuan.

3. Sais menggunakan penilaian nilai non-kognitif dalam argumentasi ilmiah

Peneliti butuh mengumpulkan dan mengelaborasi data. Awalnya, mereka harus menentukkan seberapa data banyak data yang cukup untuk menjadi bukti yang mendukung hipotesis. Tetapi, suatu penelitian yang saintifik akan mengimplikasikan aksi. Penentuan kapan data dikatakan cukup ini bergantung pada evaluasi moral dari konsekuensi adanya kesalahan kognitif sang peneliti, yaitu menerima hipotesis palsu atau menolak hipotesis benar. Contohnya, hipotesis “substansi tertentu adalah racun mematikan untuk manusia” akan membutuhkan bukti yang lebih kuat dan banyak dibandingkan hipotesis “bunga jenis-jenis tertentu hanya akan tumbuh di pegunungan Jaya Wijaya”. Ini disebabkan oleh konsekuensi dari kesalahan membunuh seorang manusia akan lebih tinggi beban moralnya dibandingkan konsekuensi kesalahan menemukan lokasi tumbuhnya bunga jenis tertentu.

Tidak ada keraguan bahwa sains memegang posisi khusus di antara praktik manusia: ia menciptakan pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan kita untuk menjalankan lebih banyak kekuasaan atas dunia. Selain itu, sains dapat memperkirakan konsekuensi tindakan dengan lebih akurat. Pada saat yang sama, sains juga mendistribusikan kekuasaan di antara institusi sosial lainnya. Sains memikul tanggung jawab khusus untuk pihak-pihak yang menjalankan kekuasaan itu.

Kesimpulan

Idealisme sains bebas-nilai semakin terasa tidak mungkin untuk dicapai, seiring semakin meningkatnya penelitian yang mengharuskan ilmuwan dalam mempertimbangkan nilai-nilai non epistemis atau nilai non kognitif. Bidang penelitian tentang manusia sebagai subjek dan aplikasi sains dalam teknologi menjadi perhatian khusus dalam perkara ini.

Masalah penggunaan, penyalahgunaan, dan dwiguna sains adalah isu moral yang berada pada sains itu tersendiri. Isu ini tidak cukup diserahkan pada para pembuat kebijakan dan institusi sejenis. Institusi pengembang sains juga memiliki kewajiban untuk menimbang implikasi-implikasi yang mungkin dari mengabarkan suatu hasil penelitian, menerima pendanaan penelitian dari institusi tertentu, atau mengembangkan suatu teknologi.

Selain itu, ilmuwan muda harus memahami apa arti sains itu sendiri. Ini tidak hanya terbatas pada pemahaman pengetahuan terkini dan kemampuan meneliti, tetapi juga pada adanya kesadaran akan apa saja rasionalisasi dan tanggung jawab dari suatu sains yang diteliti atau dipelajari. Kontras dengan itu, ilmuwan yang menerima tugas meneliti tetapi menolak tanggung jawab kebaikan untuk masyarakat dan dirinya sendiri bukanlah seorang ilmuwan yang hebat. Ilmuwan seperti ini mengabaikan hakikat dari sains. Sains haruslah menghasilkan kebaikan jangka panjang untuk masyarakat dan lingkungannya secara umum.


Referensi


Essay ini adalah salah satu tugas penulis di Mata Kuliah KU4225 Filsafat Ilmu di Institut Teknologi Bandung.

  1. Douglas, Heather. (2009). Rejecting the Ideal of Value-Free Science. 10.1093/acprof:oso/9780195308969.003.0009. ↩︎

  2. Ward, Zina B. (2020). On value-laden science. Studies in History and Philosophy of Science Part A. ISSN 0039-3681. https://doi.org/10.1016/j.shpsa.2020.09.006↩︎

  3. Lekka-Kowalik, Agnieszka. (2009). Why Science cannot be Value-Free. Science and engineering ethics. 16. 33-41. https://doi.org/10.1007/s11948-009-9128-3 ↩︎

This post is licensed under CC BY 4.0 by the author.