Bukankah memang demikian?
Sebagai contoh, saya belum siap (baca: rela) untuk menjadi seseorang yang mendalami bidang aplikatif, maka dimasukkanlah ke tempat yang mempelajari ilmu-ilmu dasar. Pada awalnya, dengan mempelajari ilmu dasar ini (baca lagi: matematika) saya belum sepenuhnya memahami bagaimana tetek-bengek detail suatu bidang praktis/industri itu bekerja, tapi ternyata di program ini kemampuan abstraksi, berpikir runut, dan komunikasi verbal saya banyak dilatih. Memang komunikasinya bukan dalam cita rasa orang pemasaran, tapi cita rasa orang yang berpikir logis dan mampu menyampaikan konsep-konsep abstrak kepada audiens — suatu transferable skill yang tak lekang oleh waktu. Ternyata juga saya diberikan tugas kuliah yang relatif sedikit sehingga bisa melakukan pengembangan diri lainnya dengan lebih leluasa.
Seiring berjalannya waktu, berbekal pengalaman yang ditempatkan dari waktu-waktu luang tersebut, saya semakin siap mendalami suatu masalah dan berani berkomitmen tenaga, pikiran, emosi, uang, dan waktu untuk mendalami bidang-bidang aplikatif yang berkaitan. Kesiapan itu baru ada bertahun-tahun setelahnya. Tak ada penyesalan, tidak perlu menoleh ke belakang.
Terkadang, keinginan datang sebagai anugerah.
Kita selalu menginginkan sesuatu, kapan pun itu. Ketika kita mencapai apa yang diinginkan, rasa puas adalah hasil ketika segalanya tampak tertata pada tempatnya di saat yang sempurna. Dalam kasus ini, bisa dikatakan bahwa kita “siap dalam segala aspek” untuk keinginan-keinginan tersebut.
Namun, di sisi lain, keinginan bisa menjadi awalan suatu ujian.
Ada saatnya kita tidak siap dengan untuk mengalami realita dari angan-angan kita sendiri. Beban yang disebabkan keinginan seperti itu akan cenderung menguras kehidupan. Bisa jadi, fisik kita tidak kuat untuk mengikuti ritmenya. Atau mental kita tidak tahan menahan bebannya. Yang lebih parah, spiritual kita rusak karenanya. Ketika itu terjadi, saya meyakini bahwa pasti ada sesuatu yang salah di sepanjang perjalanan atau terlewatnya rambu-rambu yang kita lupakan secara sengaja maupun tidak sengaja.
Pada akhirnya, hasil dalam hidup ini adalah entah anugerah atau ujian. Tentu kita bisa memandang segala sesuatu sebagai ujian — ujian atas kesenangan dan ujian atas kesusahan, di mana hanya respon kita lah hal yang paling penting untuk kita racik eksekusinya.
Oleh karena itu, pertanyaan untuk suatu keinginan di kepalamu adalah: Apakah engkau akan terus berangan-angan, atau juga sibuk mempersiapkan?