Aku kira menghabiskan 2 jam hanya untuk jalan pulang-pergi setiap harinya adalah suatu kerugian yang besar. Ternyata, itu hanyalah wadah yang bisa kita tentukan sendiri apa isinya, dibantu teknologi.
Double decker bus
Menaiki bus bertingkat adalah salah satu cita-cita masa kecil saya semenjak menonton film Harry Potter and the Prisoner of Azkaban yang memperkenalkan Knight Bus. Ketika sampai di tanah Britania, saya kira bus hantu (hantu! — karena saya seorang Muggle, maka Knight Bus yang cuma bisa dilihat oleh wizard/witch ini layaknya bus hantu) itu tidak ada. Ternyata itu adalah asumsi yang salah.
Sayangnya dia bukan bus triple-decker seperti Knight Bus (kayaknya 3 lantai itu tidak realistis, meskipun pernah ada), membuat saya tidak begitu tertarik. Walau begitu, sensasi melihat pemandangan kota dari bagian depan lantai 2-nya bus yang berjalan alon-alon itu belum punya tandingan. Dari ketinggian ini kamu bisa lihat lebih banyak, tapi tidak terlalu jauh untuk mampu menyadari detail-detailnya. Selalu ada hal baru yang ditemukan tiap kali naik bus lantai 2 — selama di perjalanan kepala tidak menunduk, mengejar PR readings (membaca jurnal/buku) kuliah hari itu.
Keramaian musim panasnya Edinburgh, Skotlandia. Menuju South Bridge.
Itu adalah salah satu alasan mengapa saya begitu menikmati rata-rata total 2 jam perjalanan pulang-pergi setiap hari selama menjalani kuliah magister. Alasan lainnya, yang lebih utama, dimulai oleh kecelakaan yang terjadi ketika saya menuruni tangga di dalam bus Lothian ini.
Interior salah satu Lothian Bus. In my honest opinion, tak tertandingi se-UK dari segi pelayanan dan fasilitas.
Shiny, new buddy
Telepon genggang saya jatuh dari lantai 2 bus. Buruk, memang, turun tangga sambil pegang-pegang telepon genggam. Tapi ini bisa dimaklumi karena ketika itu, di musim gugur — masa awal kalender pendidikan — saya (dan banyak orang) masih tidak terbiasa dengan tata kota yang belokan-belokan jalannya bisa bersudut 56 atau 143 derajat, sehingga tampilan Google Maps yang nampak di sudut penglihatan adalah suatu kebutuhan primer yang temporer.
Kaca pelindung telepon genggang saya pecah. Layarnya juga sedikit pecah. Kondisinya mungkin tidak begitu buruk, tapi ia sedemikian rupa sehingga satu sentuhan jari akan menghasilkan tiga respon sekaligus di tiga titik yang berbeda di layar tersebut. Mengetik “masih di Princes St” saja bisa memakan waktu 1 menit karena terus-terusan typo. Ini juga mungkin berlebihan, karena handphone yang cacat ini adalah suatu kerikil kecil kehidupan. Tapi ketika itu saya menganggap kondisi tersebut adalah suatu kegentingan. Durasi saya diizinkan tinggal di negeri ini tidak lama disertai dengan tuntutan yang banyak, sehingga kerikil kecil pun dikhawatirkan akan dengan mudah mengganggu keseluruhan sistem. Ya, tiap kali mau shalat saja harus lihat aplikasi masjid lokal agar tahu jadwal yang tepat (dan shalat adalah tiangnya sistem kehidupan).
Singkat cerita, saya beli gawai baru yang pemilihannya sengaja diriset 2–3 malam agar pembeliannya disertai dengan diskon ratusan pounds dan berbagai perks. Singkatnya lagi, alasan terbaik dari nikmatnya commuting 2 jam adalah saya memiliki bluetooth earset yang datang bersamaan dengan ponsel baru tersebut sebagai bagian dari bonus. Sesuatu yang menambah kemudahan dan kepraktisan bagi saya untuk mendengarkan apa yang paling baik untuk disimak. Buka, pasang ke telinga, ting — tersambung ponsel, dengarkan.
Galaxy Buds 2. Jangan lupa bersihkan gawai-gawaimu dari kuman-kuman kehidupan.
Mendengarkan nasihat
Apa yang membuat bluetooth earset ini begitu signifikan tidak bisa terlepas dari konteks saat itu. Saya adalah wanita berhijab yang hidup di daerah yang cenderung dingin. Memasang earset berkabel bukanlah suatu hal yang trivial ketika kamu memakai kain di sekitaran kepala dan berlapis-lapis pakaian di badan. Tapi lagi-lagi, nikmatnya bukan dari lubang telinga yang disumpal; nikmatnya datang dari mendengar apa yang didengar lewat earset tanpa kabel tersebut. Suatu kemudahan kecil yang membantu menggelindingkan bola salju kebiasaan selanjutnya.
Dua jam itu terlalu berharga jika seluruhnya dipakai terus-terusan untuk mendengarkan lagu-lagu yang repetitif. Dalam satu tahun, sekitar 700 jam saya habiskan di jalan. Bagaimana kalau 700 jam itu dimanfaatkan untuk mendengarkan dan memahami 700 pelajaran hidup? Secuil waktu tersebut mungkin hanya 8% dari satu tahun yang saya miliki dengan rutinitas seperti ini. Namun saya yakin ia adalah 8 dari 20% aktivitas yang bisa membuat 80% lainnya lebih bermakna.
Dan saya mengenali diri bahwa nasihat itu paling merasuk ke hati ketika didengar, bukan dibaca. Dan nasihat seringkali jadi hal yang terakhir saya sadari saya butuhkan. Oleh karena itu, tujuh ratus jam itu saya berusaha maksimalkan untuk mendengarkan nasihat-nasihat. Setiap harinya.
Salah satu episode dari salah satu sumber nasihat yang masuk ke 700 jam tersebut.
Nasihat hati, nasihat pertemanan, nasihat cinta, nasihat karir, nasihat untuk seorang penuntut ilmu, dan yang lainnya. Beberapa pesan begitu terpatri dalam memori perjalanan commuting, sehingga, contohnya, saya mengasosiasikan belokan-belokan jalan di daerah Haymarket — jalur bus nomor 3 dan 31 — dengan kisah dan ajakan Hamza Yusuf, seorang ulama paling berpengaruh di US, untuk mulai menikmati dan mendalami puisi serta literatur klasik sebagai bagian dari olah rasa. Jalan “tol” yang dilewati oleh bus nomor 30 juga sering mengingatkan saya kembali tentang nasihat Cal Newport, seorang penulis dan profesor ilmu komputer, untuk merancang karir dalam skala jangka panjang yang lifestyle-centric daripada passion-centric.
Efek blur
Hingga sekarang, sulit untuk mereplikasi struktur rutinitas ini. Efek-efek unik yang diberikan oleh perjalanan komuter, suasana yang samar dan blur, serta suasana ketika kita terbenam dalam arus pikiran dan suara yang mengalir melalui earset, sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari kini. Kini, waktu yang saya habiskan di perjalanan setiap harinya relatif jauh lebih singkat sehingga tidak cukup untuk jadi jendela waktu untuk memfokuskan diri, berpikir, dan memanfaatkan nasihat-nasihat berharga yang didengar.
Efek “blur” yang saya alami di dalam bus adalah pengingat bahwa kadang-kadang kita perlu melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Ketika kita disuguhkan keberagaman wajah-wajah asing, bangunan-bangunan estetik yang kuno, dan berbagai topik percakapan yang mengalir di sekitar kita, kita terdorong untuk melihat dunia dengan mata yang lebih terbuka. Kita menjadi lebih sensitif terhadap perbedaan serta lebih sabar memahami pandangan-pandangan yang berbeda.
Pemandangan biasanya dari dalam bus.
Ketika yang terbaik datang dari yang terburuk
Insiden dengan ponsel genggam yang jatuh mungkin terasa sebagai malapetaka saat itu. Namun, itu adalah malapetaka yang membuka pintu bagi perubahan positif dalam hidup saya. Penggunaan Galaxy Buds 2, yang awalnya datang sebagai bonus dari pembelian ponsel baru, telah memberikan saya alat untuk menjelajah dunia nasihat dan belajar pelajaran hidup, masuk ke suatu struktur harian yang tidak bisa diganggu gugat: commuting selama 2 jam.
Dalam kesibukan sehari-hari, kita sering mengabaikan momen-momen di saat kita menganggur. Namun, momen-momen ini berpotensi menjadi katalisator untuk pertumbuhan dan pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan dunia di sekitar. Yang terbaik seringkali datang dari yang terburuk, asalkan kita terbuka untuk belajar dan memilih opsi untuk berkembang di setiap langkah-langkah kecil yang kita ambil.