Cara Mengintegrasikan Nilai-Nilai Islam dalam Penelitian Ilmiah
Menuju perkembangan sains yang membawa rahmat dalam pandangan alam Islam
Di bawah lensa mikroskop elektron, struktur molekuler DNA terbentang bagai peta kota yang rumit. Satu untai. Dua untai. Berpilin dalam tarian presisi yang mengagumkan. Bagi sebagian peneliti, ini hanyalah mekanisme — sekuen basa nukleotida yang menentukan karakteristik makhluk hidup. Namun dengan worldview yang berbeda — “pandangan alam” yang berbeda — spiral mengagumkan ini membuka panorama lebih luas: blueprint kehidupan yang dirancang dengan ketelitian tak terperi, mengungkap tanda-tanda yang tersembunyi bagi mereka yang mau melihat.
Di sinilah terletak perbedaan mendasar antara “sains sekuler” dan sains dalam perspektif Islam. Bukan pada metodologi. Bukan pada peralatan. Melainkan pada cara memandang, cara membaca, dan cara memaknai.
Mengapa? Karena tujuan hakiki sains dalam perspektif Islam melampaui sekadar pencarian korelasi antara ayat (tanda-tanda Tuhan) dengan temuan laboratorium. Lebih fundamental dari itu: membentuk saintis yang bernalar dalam kerangka tauhid (prinsip keesaan Tuhan). Hasilnya bukan sekadar paper akademik yang tajam, melainkan riset yang membawa maslahat (kebaikan) bagi umat dan semesta secara universal.
Pandanglah sejenak dunia bioteknologi kontemporer. Di satu sisi, paradigma materialistik mendorong pengembangan GMO (Genetically Modified Organism) yang memaksimalkan profit tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap jejaring kehidupan. Di sisi lain, pandangan alam Islam, dengan prinsip ‘lā ḍarara wa lā ḍirār’ (tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain), menuntun pada pencarian keseimbangan antara produktivitas dan kelestarian.
Photo by Frames For Your Heart on Unsplash
Di jantung perbedaan ini berdenyut konsep tauhid — bukan sekadar deklarasi keesaan Tuhan, melainkan pengakuan akan kesatuan realitas yang bersumber dari-Nya. Dari tauhid ini memancar delapan konsep fundamental lainnya, membentuk apa yang Alparslan Açikgenç sebut sebagai struktur konseptual Islamic worldview: Tuhan, wahyu, penciptaan, hakikat kejiwaan manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebajikan, serta kebahagiaan.
Struktur konseptual pandangan alam Islam:
1. konsep Tuhan
2. konsep wahyu atau al-Qur’an,
3. konsep penciptaan atau alam,
4. konsep jiwa manusia,
5. konsep ilmu,
6. konsep agama,
7. konsep kebebasan,
8. konsep nilai dan kebajikan,
9. dan konsep kebahagiaan.
Research Program: Kompas Intelektual yang Menuntun Arah Riset
Sebelum kita menyelami lebih jauh aplikasi sains dalam perspektif Islam ini dalam penelitian mutakhir, ada baiknya kita berhenti sejenak untuk merenung: Apa sebenarnya yang kita maksud dengan “Research Program” dalam konteks filsafat sains dan tujuan kita dalam menempatkan sains dalam perspektif Islam?
Bayangkan Research Program sebagai peta yang membentang di hadapan seorang peneliti. Peta ini bukan sekadar lembaran kertas penuh garis dan simbol, melainkan sebuah visi yang menuntun langkah-langkah strategis si ilmuwan dalam menjelajahi belantara fenomena alam. Research Program adalah kompas intelektual yang mengarahkan formulasi pertanyaan, pemilihan metodologi, interpretasi data, hingga pemaknaan hasil.
Dalam diskursus filsafat sains, konsep Research Program pertama kali dikenalkan oleh filsuf Hungaria Imre Lakatos. Bagi Lakatos, sains bukanlah sekadar akumulasi fakta atau teori terisolasi, melainkan sebuah struktur yang terdiri dari “hard core” (asumsi dasar yang tidak dapat diganggu gugat) dan “protective belt” (hipotesis pelengkap yang dapat dimodifikasi). Apa yang membedakan satu Research Program dengan lainnya adalah “hard core” ini — seperangkat komitmen metafisik dan metodologis yang menjadi fondasi bagi riset.
Research program Imre Lakatos diterjemahkan dalam konteks sains dalam perspektif Islam. Sumber ilustrasi: Fadli (2023).
Dalam konteks pembicaraan sains dalam perspektif Islam, “hard core” ini tidak lain adalah worldview Islam itu sendiri. Tauhid, konsep penciptaan, hakikat manusia, epistemologi yang berpijak pada integrasi wahyu dan akal — semua ini membentuk inti dari Research Program Islami. Ini bukan sekadar ornamen yang ditempelkan pada sains modern, melainkan navigator yang secara substansial mengarahkan gerak penelitian.
Maka, ketika kita bicara tentang Research Program sains dalam perspektif Islam, kita berbicara tentang sebuah ekspedisi intelektual yang berangkat dari dan dituntun oleh worldview Islam. Sebuah petualangan ilmiah yang tidak sekadar mencari “how” dan “what”, tetapi juga merenungkan “why” dan “what for”. Sebuah riset yang tidak hanya bertujuan untuk mengontrol dan memanipulasi alam, tetapi juga untuk memahami dan menghayati kebijaksanaan Sang Pencipta yang tersirat di dalamnya.
Jadi, mari kita melangkah dengan pemahaman ini ketika kita mengeksplorasi aplikasi sains dalam perspektif Islam pada riset kontemporer. Mari kita lihat bagaimana Islamic worldview, sebagai Research Program, dapat memberikan perspektif segar dan arah baru dalam menjawab tantangan zaman — dari kompleksitas teknologi AI hingga misteri terdalam fisika kuantum dan urgensi krisis ekologi.
Aplikasi dalam Riset Kontemporer: AI, Fisika Kuantum, Ekologi
Bagaimana kesembilan konsep ini mewujud dalam praktik penelitian kontemporer? Marilah menelusuri isu terkini teknologi artificial intelligence (AI).
Photo by Jonathan Kemper on Unsplash
Di laboratorium-laboratorium AI global, algoritma pembelajaran mesin dikembangkan untuk mengoptimalkan berbagai metrik kuantitatif. Akurasi. Efisiensi. Skalabilitas. Namun peneliti dengan worldview Islam mengajukan pertanyaan yang berbeda: Bagaimana mengembangkan sistem AI yang meningkatkan — bukan menggantikan — kapasitas manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan di muka bumi)? Apa batasan etis yang tak boleh dilampaui? Bagaimana memastikan distribusi manfaat yang adil?
Research program yang lahir dari perspektif ini membentuk mozaik riset yang menarik:
Pertama, pengembangan explainable AI: bagaimana model-model AI harus bisa dijelaskan bagaimana ia membuat keputusan, dari input hingga output. Di permukaan, ini tampak sebagai proyek teknis untuk membuat model yang transparan. Namun pada akarnya tertanam konsep amanah (tanggung jawab) — keyakinan bahwa teknologi harus tetap dalam kendali manusia yang bertanggung jawab kepada Penciptanya.
Kedua, studi tentang bias dalam sistem AI: kecenderungan sistem AI untuk menghasilkan prediksi atau keputusan yang tidak adil atau merugikan kelompok tertentu. Studi ini tidak hanya sekadar masalah teknis, melainkan manifestasi prinsip ‘adl (keadilan) yang tak bisa dikompromikan demi efisiensi. Ketika model bahasa besar (LLM) menunjukkan bias terhadap kelompok tertentu, ini bukan sekadar bug untuk diperbaiki, tapi peringatan tentang tanggung jawab moral dalam pengembangan teknologi.
Ketiga, pengembangan metrik evaluasi holistik yang melampaui akurasi algoritmik. Bagaimana sistem AI mempengaruhi ikatan sosial? Apakah meningkatkan atau justru mengikis kemandirian manusia? Di sini, Islamic worldview tentang hakikat manusia dan kebahagiaan memberikan kompas evaluasi yang lebih komprehensif.
Keempat, desain collaborative AI systems yang mengakui dan menghormati martabat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Bukan menciptakan pengganti manusia, melainkan alat bantu yang memperluas kapasitas fitrah (potensi bawaan) manusia.
Menariknya, tema-tema ini kini juga menjadi perhatian komunitas AI global. Perbedaannya? Pondasi konseptual. Sementara banyak peneliti sampai pada pertimbangan etis melalui trial and error atau tekanan eksternal, sains dalam perspektif Islam memulai dengan kerangka etis yang utuh dan terintegrasi.
Photo by Bozhin Karaivanov on Unsplash
Transformasi ini tak terjadi dalam ruang hampa. Ketika fisikawan kuantum dengan worldview Islam mengamati dualitas gelombang-partikel, yang terlihat bukan sekadar persamaan Schrödinger. Fenomena ini membuka jendela pada keseimbangan penciptaan — manifestasi sifat Al-’Adl (Maha Adil) yang tertulis dalam struktur terdalam materi. Bagaimana mungkin partikel “tahu” kapan berperilaku sebagai gelombang? Pertanyaan ini membawa pada eksplorasi lebih dalam tentang hakikat kausalitas dalam alam semesta.
Di ranah sains lingkungan, dikotomi klasik “pembangunan versus konservasi” terurai menjadi tantangan yang lebih fundamental: bagaimana mewujudkan kemakmuran dalam batas-batas amanah pemeliharaan bumi? Perspektif khilafah (pengelolaan amanah) membuka jalan tengah yang tak terlihat dari paradigma materialistik — pembangunan yang tidak sekadar berkelanjutan, tapi juga menghormati sakralitas ciptaan.
Metodologi penelitian pun mengalami transformasi subtil namun mendalam. Bukan dengan menolak metode ilmiah modern, melainkan dengan mengintegrasikannya dalam kerangka yang lebih luas. Data tetap dikumpulkan dengan presisi, tapi dengan adab. Analisis dilakukan dengan ketelitian, namun dijiwai ihsan (kesempurnaan). Hasil dievaluasi tidak hanya dari validitas statistik, tapi juga dari sudut maslahat.
Research program sains dalam perspektif Islam, dengan demikian, beroperasi dalam spektrum yang lebih luas. Di satu sisi, menghasilkan paper dan temuan yang dapat berdialog dengan komunitas ilmiah global. Di sisi lain, membawa dimensi makna yang lebih dalam — kontribusi pada pemahaman akan ayat-ayat kauniyah — tanda-tanda Tuhan yang bertebaran di alam semesta.
Proses Islamisasi Sains: Langkah-Langkah Konkret
Bagaimana ini diterapkan dalam praktik? Al-Attas dalam Islam and Secularism menggariskan proses islamisasi yang sistematis: pembebasan pikiran dari cara pandang magis, mitologis, animistik, dan sekular yang bertentangan dengan Islam. Proses ini bukan sekadar “mengganti” konten pengetahuan, melainkan transformasi mendalam yang melibatkan:
Pertama, isolasi elemen-elemen kunci yang membentuk peradaban Barat dan peradaban lainnya yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah — konsep dualisme, doktrin humanisme, tragedi dalam pandangan hidup, drama dalam eksistensi, animisme, dan lain-lain — dari tubuh pengetahuan yang kita pelajari. Seperti ahli bedah yang memisahkan jaringan dengan hati-hati, kita perlu mengidentifikasi asumsi-asumsi filosofis yang tertanam dalam budaya dan pendidikan kita.
Kedua, memasukkan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam. Ini bukan sekadar “memberi label Islam”, melainkan restrukturisasi fundamental dalam cara kita memahami realitas. Konsep-konsep seperti adab (kesopanan/etika), akhlak (karakter), hikmah (kebijaksanaan), dan ‘adl (keadilan) tidak ditempelkan sebagai hiasan, melainkan diintegrasikan sebagai kerangka berpikir yang mengubah cara kita mendekati dan melakukan penelitian. Sehingga, apapun struktur pengetahuan yang dibangun melalui sains tidak bertentangan dengan bangunan struktur konseptual pandangan alam Islam (9 poin) yang telah disebutkan sebelumnya.
Proses ini mirip dengan rekalibrasi kompas internal — mengembalikan fitrah intelektual yang mungkin telah terdistorsi oleh cara pandang sekuler. Tidak cukup hanya memahami Islamic worldview secara teoretis; ia harus meresap ke dalam intuisi peneliti, membentuk cara ia memandang fenomena, mengajukan pertanyaan, dan menginterpretasi hasil.
Pendekatan ini membuka perspektif yang mungkin terabaikan dalam paradigma dominan. Ambil contoh dalam riset ekologi: seorang peneliti dengan Islamic worldview akan secara natural mempertanyakan asumsi bahwa alam adalah “sumber daya” yang ada untuk dieksploitasi. Pemahaman tentang konsep amanah dan khilafah mendorong pertanyaan-pertanyaan berbeda tentang relasi manusia-alam, yang bisa membuka alternatif solusi untuk krisis ekologi.
Dalam pengembangan AI pun demikian. Di tengah perdebatan tentang artificial general intelligence dan singularitas teknologi, worldview Islam mengingatkan pada batasan fundamental: bahwa kecerdasan buatan, secanggih apapun, tetaplah makhluk — hasil kreasi manusia yang terbatas. Perspektif ini menggeser fokus dari “mengungguli kecerdasan manusia” ke “mengoptimalkan teknologi untuk kemaslahatan”, menghasilkan arah penelitian yang mungkin lebih produktif dan realistis.
Photo by Laura Rivera on Unsplash
Bukti Historis
Sejarah sains Islam memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana worldview yang berbeda membuka jalur penelitian yang unik. Ibn al-Haytham, misalnya, dalam Kitab al-Manazir tidak sekadar mengembangkan teori optik. Keyakinannya bahwa alam adalah ayat yang bisa ‘dibaca’ mendorongnya mengembangkan metodologi penelitian empiris yang sistematis — jauh sebelum metode ilmiah modern dirumuskan. Eksperimennya yang teliti tentang cahaya dan penglihatan lahir dari kerangka berpikir yang memandang alam sebagai realitas objektif yang harus dikaji dengan penuh ketelitian dan kejujuran.
Atau mari kita lihat bagaimana al-Biruni mendekati farmakologi. Studinya tentang obat-obatan tidak berhenti pada efek terapeutik, tapi mencakup juga konteks sosial-ekologis tanaman obat dan dampak etisnya pada masyarakat. Perspektif holistik ini berakar pada pemahaman bahwa ilmu harus membawa maslahat — prinsip yang kini menjadi relevan kembali di era krisis lingkungan dan kesehatan global.
Bahkan di bidang matematika, motivasi tauhidik melahirkan eksplorasi unik. Al-Khawarizmi mengembangkan aljabar bukan sekadar sebagai abstraksi matematis, tapi sebagai alat untuk memecahkan masalah praktis dalam konteks sosial, dari pembagian warisan hingga perdagangan. Ini menunjukkan bagaimana Islamic worldview mendorong pengembangan ilmu yang langsung terhubung dengan kebutuhan masyarakat.