Aku tidak tahu satu hal pun tentang sosiologi, sedikit tentang ekonomi. Tapi aku sangat suka history.
Di awali dari suatu percikan diskusi (dan membaca buku Collapse oleh Jared Diamond) tentang mengapa bangsa-bangsa bisa runtuh dan bangkit, mengapa kejayaan suatu negara mengikuti siklus tertentu, aku dikenalkan dengan teori ‘asabiyyah (solidaritas golongan) dan suatu judul buku yang mahsyur di kalangan ilmuwan Barat maupun Islam: Muqaddimah.
Buku yang aku baca kali ini bukanlah Muqaddimah, tetapi biografi singkat Ibn Khaldun oleh Syed Farid Alatas, seorang Profesor Sosiologi di National University of Singapore. Singkatnya, buku ini menceritakan perjalanan hidup dan intelektual Ibn Khaldun, teori-teori yang digagasnya, serta penerimaan atas karya-karyanya. Tentu aku tidak akan mengulang semua cerita tersebut, karena di sinilah tiga pelajaran yang bisa aku ambil dari buku Ibn Khaldun.
1. Nilailah seseorang sesuai dengan masanya
Ibn Khaldun hidup di pertengahan abad ke-8, yang ketika itu sedang terjadi ketidakstabilan politik di kerjaan-kerajaan Islam.
Dimulai dari menjadi sekretaris staf istana Dinasti Hafsiyun di Tunisia, kemudian menjadi penasihat ilmiah di Fez, dipenjara sultan yang mempekerjakannya, menjadi sekretaris al-Mansur di Bougie, lalu menjadi sekretaris kubu lawan yang memberontak — Abu Salim, diangkat menjadi hakim mazalim, setelah itu bosan lalu pergi ke Granada menemui Sultan Muhammad, menjadi duta besarnya yang menghadap Raja Pedro the Cruel di Castille, dipanggil kembali ke Bougie untuk menjadi kepala staf istana, melarikan diri ke Biskra lalu menjadi kepala staff istana di sana, tidak dipercaya berbagai pemimpin kerjaan, hingga akhirnya ia menetap di Tlemcen di benteng bernama Qal’at Ibn Salama bersama keluarganya. Ibn Khaldun akhirnya memilih untuk berhenti berpolitik dan mulai menjawab spirit keilmuannya.
Satu poin yang yang sering dikritisi Ibn Khaldun adalah mudah-sekali-nya ia berganti kesetiaan dalam bernegara. Tetapi beberapa ilmuwan memaklumi hal tersebut. Pun pada akhirnya, para penguasa yang pernah memusuhinya memaafkan Ibn Khaldun. Konsep kesetiaan dalam konteks negara modern berbeda dengan kesetiaan yang berlaku di tempat dan zaman Ibn Khaldun hidup.
Tapi tentu saja, jika dilihat dari perspektif agama dan keluarganya, apa yang Ibn Khaldun lakukan dalam hal ini bisa jadi dianggap tidak etis.
Social Network Diagram — Wikimedia Commons
2. Solidaritas golongan
‘Asabiyyah atau bond cohesion atau solidaritas golongan adalah faktor yang mengeratkan manusia-manusia menjadi suatu golongan. Golongan yang paling kuat dalam suatu masyarakatlah yang akan menjadi pemimpin di sana. Solidaritas golongan ini akan terus memudah seiring dengan majunya peradaban masyarakat tersebut. Hingga akhirnya ‘asabiyyah kepemimpinan saat itu memudar, roda kepemimpinan akan diambil alih oleh golongan lain yang ‘asabiyyah-nya lebih kuat.
Begitu pun seterusnya. Seperti siklus.
Itulah teori Ibn Khaldun tentang kemajuan dan kemunduran suatu bangsa.
3. Kepemimpinan akan dipergilirkan
Ibn Khaldun berpendapat bahwa wibawa suatu garis keturunan dalam memimpin hanya akan bertahan paling lama empat generasi sebelum bergantinya kepemimpinan baru. Sederhananya, generasi pertama adalah mereka yang bekerja keras menempatkan pondasi; the builder. Generasi kedua adalah yang mengembangkan dan mengekspansi dengan belajar dari generasi sebelumnya — bukan berpengalaman; the son and ally. Generasi ketiga adalah yang menjalankan kehidupan dengan berpegang pada imitasi dan tradisi yang diturunkan padanya — tetapi kurang memiliki ketetapan sendiri; the mimic. Dan terakhir, generasi keempat adalah yang masih menikmati prestise tapi sudah kehilangan kualitas — merekalah yang menghancurkan; the eroder.
Dan tentu, kepemimpinan yang dipergilirkan adalah sunatullah.
…Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.
Q. S. Ali Imran:140