Ini mungkin diawali dari kebengongan di antara siang-siang bolong, antara rapat-rapat di mana saya menjadi tukang ketik di dalamnya. Iya, “mungkin”, karena saya tidak tahu tepatnya kapan.
Manusia tidak lepas dari teknologi, mungkin semenjak dia pertama kali kelaparan. Karena teknologi adalah apapun di luar diri manusia yang membantunya menuntaskan suatu pekerjaan.
Misalnya, api untuk menghangatkan diri dan membakar apa yang akan dimakan; pisau untuk memotong apapun yang perlu dipotong. Api — kecil membawa hangat, terlalu besar membawa bencana; pisau — dipakai orang waras bermanfaat, dipegang orang gila membawa malapetaka. Api dan pisau, dua teknologi paling primitif dan arguably paling berkuasa sepanjang usia manusia.
Dari renungan ini, apa yang bisa dikatakan untuk teknologi di abad ke-21?
Semua mata kini sepertinya sedang tertuju pada teknologi informasi dan komunikasi. Orang bilang ketika dulu telepon dikatakan mendekatkan yang jauh, kini smartphone, anaknya telepon, menjauhkan yang dekat. Yang saling berjauhan dimudahkan, yang saling berdekatan dikorbankan.
Ah, memang begini ya, wataknya teknologi: pisau bermata dua (lagi-lagi pisau). Apa ukurannya suatu teknologi itu dikatakan berguna atau merugikan bagi manusia? Jika ukuran itu sesuatu yang bentuknya berspektrum, apa batasannya antara manfaat dan mudharat dari suatu teknologi?
Kembali ke tukang ketik. Di saat itu tugas saya utamanya adalah menerjemahkan diskusi verbal menjadi catatan indah yang mudah dimengerti kemudian hari. Di tengah-tengah melaksanakan tugas, sering saya berkata pada diri sendiri, “Kok segini susahnya ya menulis dengan jelas dan lugas? Segitu bahasanya sudah dibuat formal tapi masih ada saja multi tafsir ketika dibaca pihak-pihak lain.”
Di lain kegiatan, keluhannya berbeda, “Kok, ribet ya, berkomunikasi dengan orang lain? Apalagi harus berhadapan dengan watak orang yang beragam.”
Ada dua kemungkinan sumber masalah yang mengakibatkan keluhan-keluhan tersebut. Pertama, memang tugas saya dan sekitar saya yang menang “sulit” dan “menyulitkan”. Kedua, sayalah yang tidak cukup teredukasi sehingga kemampuan berbahasa dan berkomunikasi saya begitu terbatas dan membuat saya terseok-seok mengemban tugas-tugas tadi.
Sumber pertama tidak bisa dengan mudah saya uji dan verifikasi. Sumber kedualah yang saya curigai sebagai biang keladi.
Dari situlah saya merasa butuh untuk lebih banyak mengungkapkan isi kepala lewat kata-kata.
Kemudian lihatlah hari ini. Saya memiliki kemampuan berkomunikasi yang sedikit lebih baik dari pada di saat siang-siang bolong itu. Tapi setelah ditilik-tilik, kemajuan yang saya rasakan utamanya karena kemampuan “merasa” saya yang sedikit lebih canggih pula — utamanya “merasa” ketika melihat ke dalam diri dan berinteraksi dengan lawan bicara. Pertanyaannya, apakah sebenarnya kemampuan komunikasi saya belum ada perubahan, ataukah memang berbahasa dan merasa itu saling berkaitan?
Kembali ke teknologi. Lihatlah saat ini. Begitu banyak teknologi yang membantu kita untuk berkomunikasi lebih mudah, lebih murah, lebih cepat. Tapi, sebagaimana penggunaan teknologi ini memiliki spektrum manfaat-mudharat, adakah bagian dari diri kita yang dikorbankan atas segala kenyamanan berkomunikasi hari ini?
Ambil media sosial. Kita bisa melihat bagaimana orang-orang dengan mudahnya mencela dan mencaci, baik pada perbuatan tercela maupun tidak — saya tidak setuju dengan pencelaan/pencacimakian verbal terhadap apapun itu. Apakah ini adalah suatu wujud penurunan moral di antara pengguna media sosial, atau kegiatan mencaci itu memang dari dulu sebegitu maraknya namun kini hanya lebih terekspos saja? Penjelasan yang mana pun itu, kenyataannya sekarang adalah bahwa teknologi media sosial telah mempermudah, mempercepat, dan mengamplifikasi keburukan.
Ya, tapi hal yang sama juga berlaku untuk kebaikan. Bisa jadi teknologi media sosial juga telah mempermudah, mempercepat, dan mengamplifikasi kebaikan. Video pendek 15 detik di media sosial membuat pesan-pesan kebaikan semakin mudah tersebar, cocok untuk mereka yang tidak memiliki kemampuan menahan atensi yang lama. Di sisi lain, secara umum atensi semua orang menurun gara-gara banjirnya konten-konten pendek tersebut. Kalau begitu, teknologi ini bergantung penggunaannya, kan?
Tunggu, teknologi jadinya terlihat netral, bukan? Tapi apakah kita benar-benar berpikir bahwa pisau bermata dua benar-benar sama tajam tiap sisinya? Artinya, apakah nilai itu ditanamkan benar-benar hanya ketika teknologi itu digunakan saja — bukan juga ketika awal ia didesain?
Ah, tadinya saya ingin bicara tentang masa depan kemampuan berbahasa, tapi mengapa selalu berbalik mengulas filsafat teknologi?
Kembali lagi, language and communication technology at our fingertips, at what cost?
Saya tidak tahu. Bisa jadi menurunkan kemampuan berbahasa kita ketika teknologi tersebut tidak bisa hadir membantu. Bisa jadi juga ada perasaan kita yang tidak lagi sensitif diakibatkan oleh tidak cukup terlatihnya kemampuan berbahasa kita. Bisa jadi memang menurunnya moralitas manusia secara tidak langsung karena sedikit sekali penghalang antara nafsu/niat buruk dan eksekusinya karena teknologi yang dipakai tidak netral nilai. Bisa jadi semua hipotesis saya salah.
Sejauh ini, kita masih berbicara cost masa kini dan belum mendiskusikan masa depan. Ya kan judulnya “intro.” Semoga kata tersebut bisa segera ditanggalkan dan benar-benar punya bayangan tentang masa depan.